Senin, 09 Juni 2008

ALAT PERAGA “PAPAN PERKALIAN”

<>

Alat peraga ini memegang peranan penting selain pemilihan metode yang tepat. Alat peraga akan membantu siswa memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika yang bersifat abstrak, maka proses pembelajaran matematika diperlukan bantuan penyajian materi yang brupa benda konkret, dimana benda konkret itu disebut alat peraga.

Tujuan pembuatan alat peraga

1. Merangsang minat dan perhatian siswa untuk lebih mempelajari matematika khususnya perkalian.

2. Meningkatkan pemahaman konsep siswa pada pokok bahasan perkalian.

3. Membuat pelajaran matematika lebih berkesan bagi siswa sehingga tidak mudah dilupakan.

Jenis Alat Peraga

Alat peraga yang digunakan adalah papan perkalian. Alat peraga ini bersifat permainan yang berfungsi untuk mempermudah siswa untuk siswa menangkap materi yang disampaikan oleh guru.

1. Alat :

a. Palu

b. Mistar

c. Spidol

d. Testpen

e. Gergaji

2. Bahan :

a. Papan

b. Triplek

c. Paku

d. Balon

e. Saklar

f. Kabel

g. Jek

Gambar Alat Peraga

Cara Kerja

Didalam alat perkalian terdapat beberapa pertanyaan tentang operasi perkalian. Siswa diminta menhitung perkalian yang tersedia dipapan. Kemudian guru mencocokannya dengan jawaban yang telah tersedia dipapan dengan cara memencet saklar yang berada disamping jawaban. Jika jawabannya benar maka lampu indkatornya akan menyala. Tetapi sebalikanya jika jawabannya salah maka lampu indikatornya tidak akan menyala.

Kamis, 17 April 2008

HUKUM KETENAGAKERJAAN KEDUDUKAN PARA PEGAWAI NEGERI

1. PENDAHULUAN

Beberapa jabatan tertentu pada struktur pemerintahan RI merupakan jabatan politik. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian tidak menggunakan istilah jabatan politik sedangkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 pada Pasal 1 menggunakan istilah Jabatan Politik. Pejabat Politik bisa diartikan sebagai pejabat negara sedangkan pejabat negara tidak dipandang sebagai pegawai negeri.

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1994 menetapkan bahwa seorang pegawai negeri yang diangkat sebagai pejabat negara, dibebaskan untuk sementara waktu dari jabatan organiknya selama menjadi pejabat negara tanpa kehilangan statusnya sebagai pegawai negeri. Pasal 11 dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 yang dimaksud pejabat negara ialah :

2. Presiden

3. Anggota Badan Permusyawaratan

4. Anggota Badan pemeriksaan Keuangan

5. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Mahkamah Agung

6. Anggota Dewan Pertimbangan Agung

7. Menteri

8. Kepala Perwakilan Republik Indonesia

9. Gubernur Kepala Daerah

10. Bupati Kepala Daerah

11. Pejabat lain yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

Pegawai Negeri yang diangkat sebagai Pejabat Negara dibebaskan dari jabatan organiknya kecuali Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Mahkamah Agung. Pegawai Negeri tersebut secara administratif tetap pada lembaga negara yang bersangkutan tetapi apabila pegawai negeri tersebut berhenti dari jabatannya sebagai Pejabat Negara maka ia kembali terhadap lembaga negara yang bersangkutan.

Penggajian pejabat negara diatur secara tersendiri begitu pula dengan Pegawai Negeri. Itulah sedikitnya ulasan tentang pegawai negeri selebihnya kita bahas lebih lanjut dalam bab berikutnya.

I. PEMBAHASAN

Pada umumnya pegawai negeri berstatus sebagai pegawai publik namun tidak semua pejabat publik berstatus pegawai negeri. Seperti halnya pemegang jabatan dari suatu jabatan negara. Sebaliknya tidak semua pegawai negeri merupakan pemegang jabatan publik.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menyatakan bahwa pegawai negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas lainnya yang ditetapkan berdasarkan suatu perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dimaksud sebagai pejabat yang berwenang dalam hal ini yaitu yang mempunyai wewenang mengangkat dan memberhentikan pegawai negeri berdasarkan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 bahwa pegawai negeri terdiri dari :

1. Pegawai Negeri Sipil

2. Anggota Angkatan Bersenjata RI

Pegawai Negeri Sipil terdiri dari :

1. Pegawai Negeri Sipil Pusat

2. Pegawai Negeri Sipil Daerah

3. Pegawai Negeri Sipil yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

1.a. Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah Pegawai Negeri yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan bekerja pada departemen, lembaga pemerintah non departemen, kesekretariatan lembaga tertinggi negara, instansi vertical di daerah-daerah kepaniteraan pengadilan.

2.a. Pegawai Negeri Sipil daerah adalah Pegawai negeri daerah otonom.

Undang-Undang Nomor 8 Thun 1974 juga mengatur kedudukan, kewajiban dan hak pegawai negeri.

Kewajiban Pegawai Negeri adalah sebagai berikut :

1. Wajib setia dan taat sepenuhnya kepada pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan pemerintah (Pasal 4)

2. Wajib mentaati segala peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksana kan tugas kedinasan yang dipercayakan dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab (Pasal 5)

3. Wajib menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan kepada dan dinas atas perintah pejabat-pejabat yang wajib atas kuasa undang-undang.

Selain kewajiban juga berlaku peraturan pemerintah, nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang menetapkan kewajiban dan larangan bagi pegawai negeri sipil.

Bagi pegawai negeri sipil diwajibkan :

a. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, negara dan pemerintah.

b. Mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan atau diri sendiri, serta menghindarkan segala sesuatu yangd apat mendesak kepentingan negara oleh golongan, diri sendiri, atau pihak lain.

c. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat negara, pemerintah dan pegawai negeri sipil.

d. Menyimpan rahasia negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya.

e. Mentaati ketentuan jam kerja.

f. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik.

g. Menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik-baiknya.

h. Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugasnya.

i. Menjadi dan memberikan contoh serta teladan yang baik terhadap bawahannya

j. Mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerjanya

k. Dan seterusnya

Bagi pegawai negeri sipil diberlakukan larangan, sbb:

a. Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat negara, pemerintah, atau pegawai negeri sipil

b. Menyalahgunakan wewenangnya

c. Tanpa ijin pemerintah menjadi pegawai negeri atau bekerja untuk negara asing

d. Menyalahgunakan barang-barang atau surat-surat berharga milik negara

e. Memilik, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan atau meminjamkan barang-barang, dokumen atau surat-surat berharga milik negara secara tidak sah

f. Melakukan tindakan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung marugikan negara

g. Melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas dendam terhadap bawahannya atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerja

h. Menrima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut dapat diduga pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan pegawai negeri sipil yang bersangkutan

i. Dan seterusnya

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 menetapkan hak bagi pegawai negeri sipil adalah :

1. Hak atas gaji yang layak sesuai dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya (Pasal 7)

2. Hak atas cuti (pasal 8)

3. Hak memperoleh perawatan dikala ditimpa oleh sesuatu kecelakaan dalam dan oleh karena menjalankan tugas kewajibannya (Pasal 9 ayat 1)

4. Hak memperoleh tunjangan dikala menderita cacat jasmani atau cacat rohani dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya yang mengakibatkan pegawai negeri yang bersangkutan tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun juga (Pasal 9 ayat 2)

5. Hak memperoleh uang duka bagi keluarga bagi pegawai negeri yang tewas (Pasal 9 ayat 3)

6. Hak atas pensiun (Pasal 10)

Disamping ada hak dan kewajiban pegawai negeri sipil juga ada kenaikan pangkat pegawai negeri sipil yang diatur dalam peraturan pemerintah nomor 3 tahun 1980 mengenai berbagai macam kenaikan pangkat yaitu :

1. Kenaikan pengkat reguler yakni kenaikan pangkat yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan tanpa memperhatikan jabatan yang dipangkunya (Pasal 7)

2. Kenaikan pangkat pilihan yakni kenaikan pangkat yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang memngku jabatan struktural atau jabatan fungsional tertentu yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dan kenaikan pangkat pilihan dimaksud diberikan dalam batas-batas jenjang pangkat yang ditentukan untuk jabatan yang bersangkutan (Pasal 9)

3. Kenaikan pangkat istimewa yakni kenaikan pangkat lebih tinggi yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang menunjukkan prestasi kerja yang luar biasa baiknya atau menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi negara (Pasal 13)

4. Kenaikan pangkat pengabdian yakni kenaikan pangkat karena telah mencapai batas usia pensiun yang akan berhenti dengan hormat dengan hak pensiun, apabila sekurang-kurangnya telah 4 tahun dalam pangkat yang dimilikinya dan penilaian pekerjaan rata-rata bernilai baik dengan ketentuan tidak ada unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan yang bernilai kurang (Pasal 17)

5. Kenaikan pangkat anumerta yakni kenaikan pangkat bagi pegawai negeri yang meninggal dunia dalam melaksanakan kewajibannya (Pasal 19)

6. Kenaikan pangkat dalam tugas belajar kenaikan pangkat karena ditugaskan mengikuti pendidikan atau latihan jabatan

7. Kenaikan pangkat selama menjadi pejabat negara

8. Kenaikan pangkat selama dalam penugasan

9. Kenaikan pangkat selama menjalankan wajib militer

10. Kenaikan pangkat sebagai penyesuaian ijazah

11. Kenaikan pangkat lainnya

Pasal 23 ayat 1 undang-undang nomor 8 tahun 1974 pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat karena :

1. Permintaan sendiri

2. Telah mencapai usia pensiun

3. Adanya penyederhanaan organisasi pemerintah

4. Tidak cakap jasmani dan rohani sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai Pegawai Negeri Sipil

Pasal 23 ayat 2 undang-undang nomor 8 tahun 1974 ada pemberhentian pegawai negeri sipil dapat diberhentikan tidak hormat karena:

1. Melanggar sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil, sumpah atau janji jabatan negeri atau peraturan disiplin pegawai negeri sipil

2. Dihukum penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang sah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena dengan sengaja melakukan sesuatu tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 4 tahun atau diancam dengan hukuman yang lebih berat.

II. PENUTUP

Kesimpulan

Demikianlah pembahasan mengenai pegawai negeri dan jenis-jenisnya dari pengertian pegawai negeri, hak dan kewajiban pegawai negeri sampai pengangkatan dan pemberhentian pegawai negeri. Dalam hal ini masih banyak yang harus kita bahas mengenai pegawai negeri ini namun karena pengetahuan yang kurang dan keterbatasan kemampuan hanya dapat memberikan keterangan yang sangat singkat dan sedikit.

Mungkin dalam negara kita sendiri pegawai negeri sangatlah dibatasi hal ini karena lapangan kerja yang terbatas pula seharusnya pemerintah menyediakan lapangan kerja yang memadai dan dapat meningkatkan atau mengurangi pengangguran yang semakin bertambah.

Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat dan dapat diterima dengan baik, bila ada kekurangan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.

III. DAFTAR PUSTAKA

Philipus M Hajon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Penerbit Gadjah Mada University Pers.

Utrecht, E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Penerbit dan balai buku ICHTIAR, Djakarta, 1964.

Sastra Djatmika dan Marsono, Hukum Kepegawaian di Indonesia, penerbit Djambatan, Jakarta 1987.

JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

I. PENDAHULUAN

Tujuan buruh melakukan pekerjaan adalah untuk mendapat penghasilan yang cukup untuk membiayai kehidupannya bersama dengan keluarganya. Selama dia melakukan pekerjaan, dia berhak atas pengupahan yang menjamin kehidupannya dan keluarganya. Selama dia melakukan pekerjaan, majikan wajib membayar upah itu.

Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 pasal 1 angka 1 menjelaskan yang dimaksud jaminan sosial tenaga kerja adalah sutu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau kurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia. Rumusan ini menunjukkan dengan jelas bahwa jaminan sosial tenaga kerja merupakan suatu perlindungan bagi tenaga kerja. Wujud perlindungan itu adalah santunan uang dan pelayanan.

Pada hakikatnya program jaminan sosial tenaga kerja memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sesuai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang. Tekanan jaminan sosial tenaga kerja terletak pada masa depan tenaga kerja. Sebab, siapapun mungkin akansakit, mungkin akan cacat, pasti tua dan pasti meninggal dunia. Jika terjadi buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya dikarenakan sakit, cacat atau telah lanjut usia akan memberikan jaminan akan memperoleh pengganti sebagaian atau seluruh dari penghasilan yang hilang.

II. PEMBAHASAN

Ruang lingkup jaminan sosial meliputi : (1) jaminan kecelakaan kerja, (2) jaminan kematian, (3) jaminan hari tua, dan (4) jaminan pemeliharaan kesehatan. Keempat program ini merupakan program miimal. Artinya dimasa-masa yang akan dating masih mungkin dikembangkan lagi.

A. Jaminan Kecelakaan Kerja

Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja berhak menerima jaminan kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja merupakan resiko yang dihadapi oleh tenaga kerja yang melakukan pekerjaan. Untuk menanggulangi hilangnya sebagian atau seluruh penghasilannya akibat kecelakaan kerja baik fisik maupun mental, maka perlu jaminan kecelakaan kerja.

Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja berhak atas jaminan kecelakaan kerja berupa penggantian biaya yang meliputi :

a) Biaya pengangkutan tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja ke rumah sakit atau ke rumahnya, termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan.

b) Biaya pemeriksaan, pengobatan, dan atau perawatan selama di rumah sakit, termasuk rawat jalan.

c) Biaya rehabilitasi berupa alat Bantu atau alat ganti bagi tenaga kerja yang anggota badannya hilang atau tidak berfungsi akibat kecelakaan kerja.

d) Santunan yang berupa uang yang meliputi : (1) santunan sementara tidak mampu bekerja, (2) santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya, (3) santunan cacat total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental, dan (4) santunan kematian.

Biaya pengangkutan tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja ke rumah sakit atau ke rumahnya, termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan dan pemeriksaan, pengobatan dan atau perawatan selama di rumah sakit, termasuk rawat jalan dibayar terlebih dahulu oleh pengusaha.

Yang termasuk tenaga kerja dalam jaminan kecelakaan kerja menurut pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 adalah : (a) magang atau murid yang bekerja pada perusahaan, baik menrima upah maupun tidak, (b) mereka yang memborong pekerjaan, kecuali jika pemborongnya adalah perusahaan, (c) narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.

Selama tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan masih belum mampu bekerja, pengusaha tetap membayar upah tenaga kerja yang bersangkutan sampai penetapan akibat kecelakaan kerja yang dialami diterima semua pihak atau dilakukan oleh Menteri.

B. Jaminan Kematian

Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, keluarganya berhak atas jaminan kematian. Penegasan ini perlu, karena apabila tenaga kerja meninggal dunia akibat kecelakaan kerja, maka keluarganya berhak atas santunan akibat kecelakaan kerja, termasuk santunan kematian. Jaminan kematian meliputi : biaya pemakaman dan santunan berupa uang. Mengenai besarnya jaminan kematian ini, pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 1993 menentukan sebagai berikut :

a. santunan kematian sebesar Rp. 1.000.000,00

b. biaya pemakaman sebesar Rp. 200.000,00

Urutan penerimaan yang diutamakan dalam pembayaran kematian dan jaminan kematian adalah sebagai berikut ;

1. janda atau duda ;

2. anak ;

3. orang tua ;

4. cucu ;

5. kakek atau nenek ;

6. saudara kandung ;

7. mertua ;

Pihak-pihak yang disebutkan di atas mengajukan pembayaran tas jaminan kematian kepada Badan Pemyelenggara dengan bukti-bukti, yaitu ; kartu peserta dan surat keterangan kematian. Berdasarkan pengajuan inilah badan Penyelenggara membayarkan santunan kematian dan biaya pemakaman kepada keluarga yang berhak.

C. Jaminan Hari Tua

Jaminan hari tua dibayarkan sekaligus atau berkala, atau sebagian dan berkala, kepada tenaga kerja karena telah mencapai usia 55 tahun atau cacat total tetap ditetapkan oleh dokter. Apabila tenaga kerja meninggal dunia, jaminan hari tua dibayarkan kepada janda atau duda anak yatim- piatu.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 1994 pasal 24 ayat (1) jaminan hari tua dibayar kepada tenaga kerja yang telah mencapai usia 55 tahun atau cacat total untuk selama-lamanya, dan dapat dilakukan :

a) secara sekaligus apabila jumlah jaminan hari tua yang harus dibayar dari Rp. 3.000.000,00 ;

b) secara berkala apabila seluruh jumlah jaminan hari tua mencapai Rp. 3.000.000,00 atau lebih, dan dilakukan paling lama 5 tahun.

Apabila tenaga kerja meninggalkan wilayah Indonesia selama-lamanya, pembayaran jaminan hari tua dilakukan secara sekaligus. Dalam hal ini tenaga kerja mengajukan pembayaran jaminan hari tua kepada Badan Penyelenggara.

Pembayaran jaminan hari tua dilakukan sekaligus kepada janda tau duda dalam hal tenaga kerja yang menerima pembayaran jaminan secara berkala meninggal dunia, sebesar sisa jaminan hari tua yang belum dibayarkan, dan tenaga kerja meninggal dunia. Apabila janda atau duda tidak ada, maka pembayaran jaminan hari tua diberikan kepada anak.

Tenaga kerja yang telah mencapai usia 55 tahun tetapi masih tetap bekerja, dapat memilih untuk menerima pembayaran jaminan hari tua pada saat berusia 55 tahun atau apda saat tenaga kerja yang bersangkutan berhenti bekerja. Apabila tenaga kerja memilih untuk tidak menerima pembayaran jaminan hari tua pada saat usia 55 tahun, maka pembayaran jaminan hari tua dilakukan pada saat tenaga kerja berhenti bekerja.

Tenaga kerja yang cacat total tetap untuk selama-lamanya sebelum mencapai usia 55 tahun berhak mengajukan pembayaran jaminan hari tua kepada Badan Penyelenggara. Badan Penyelenggara menetapkan besarnya jaminan paling lama 30 hari sebelum tenaga kerja mencapai usia 55 tahun dan memberitahukan kepada tenaga kerja yang bersangkutan.

D. Jaminan Pemeliharaan kesehatan

Upaya pemeliharaan kesehatan meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif secara tidak terpisah-pisah. Akan tetapi, khusus jaminan pemeliharaan kesehatan bagi tenaga kerja lebih ditekankan pada aspek kuratif dan rehabilitatif tanpa mengabaikan dua aspek lainnya.

Jaminan pemeliharan kesehatan meliputi hal-hal sebagai berikut :

a) rawat jalan tingkat pertama ;

b) rawat jalan tingkat lanjutan ;

c) rawat inap ;

d) pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan ;

e) penunjang diagnostik

f) pelayanan khusus ;

g) pelayanan gawat darurat

Yang dimaksud dengan rawat jalan tingkat pertama adalah semua jenis pemeliharaan kesehatan perorangan yang dilakukan di pelaksana pelayanan kesehatan tingkat pertama.

Yang dimaksud dengan rawat jalan tingkat lanjutan adalah semua jenis pemeliharaan perorangan yang merupakan rujukan (lanjutan) dari pelaksana pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat pertama.

Yng dimaksud rawat inap adalah pemeliharaan kesehatan rumah sakit di mana penderita tinggal/mondok sedikitnya satu hari berdasrkan rujukan dari pelaksana pelayanan kesehatan atau rumah sakit pelksana kesehatan lain.

Yang dimaksud dengan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan adalah pertolongan persalinan normal, tidak normal, dan atu gugur kandungan.

Yang dimaksud dengan penunjang diagnosa adalah semua pemeriksaan dalam rangka menegakkan diagnosa yang dipandang perlu oleh pelaksana pengobatan lanjutan.

Yang dimaksud dengan pelayanan termasuk perawatan khusus adalah pemeliharaan kesehatan yang memerlukan perawatan khusus bagi penyakit tertentu serta pemberian alat-alat organ tubuh supaya dapat berfungsi seperti semula.

Yang dimaksud dengan keadaan yang gawat darurat adalah suatu keadan yang memerlukan pemeriksaan medis segera, yang apabila tidak dilakukan akan menyebabkan hal yang fatal bagi penderita.

Pelaksanaan pemberian pelayanan paket jaminan pemeliharaan kesehatan dasar dilakukan oleh Badan Penyelenggara. Badan Penyelenggara melakukan pembayaran kepada pelaksana pelayanan kesehatan secara pra upaya dengan system kapitasi. Pemberian pelayanan oleh pelaksana pelayanan kesehatan dilakukan sesuai dengan kebutuhan medis yang nyata dan standar pelayanan medis yang berlaku dengan tetap memperhatikan mutu pelayanan.

III. KESIMPULAN

Jaminan sosial adalah pembayaran yang diterima pihak buruh dalam hal buruh di luar kesalahannya tidak melakukan pekerjaan, jadi menjamin kepastian pendapatan dalam hal buruh kehilangan upayanya karena alasan di luar kehendaknya.

Penyelanggaran jaminan sosial tenaga kerja dibagi menjadi dua, pertama untuk menjaga tenaga kerja yang bekerja didalam hubungan kerja (tenaga kerja di sini berarti “buruh”), dan kedua untuk tenaga kerja yang bekerja di luar hubungan kerja.

Sebuah perusahaan yang mempekerjakan buruh wajib mengikutsertakan buruhnya itu dalam program jaminan sosial tenaga kerja. Jaminan sosial tenaga kerja mempunyai bebrapa aspek diantaranya adalah :

1. memberikan perlindungan dasr untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya.

2. merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka bekerja.

IV. DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul Rahmad Budiono, SH.M.H “Hukum Perburuhan di Indonesia”

2. Prof. Imnan Soepomo SH “Pengantar Hukum Perburuhan”

3. Sandjun. H. Manulang “Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia”

HUKUM - HUKUM KETENAGAKERJAAN


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kasus TKI yang belum lama ini mencuat di berbagai media, menimbulkan masalah baru bagi pemerintah Indonesia. Dalam kasus TKI tersebut bukan mutlak kesalahan para TKI, tetapi pemerintah juga turut andil. Dikarenakan sampai saat ini pemerintah belum tuntas dalam menyelesaikan masalah TKI illegal. Bagi sebagian orang, bekerja sebagai TKI di luar negeri ibarat berkubang madu. Sebagai contoh, upah kerja seorang pekerja konstruksi bengunan di Malaysia empat kali lipat lebih besar dibandingkan di Indonesia dengan volume pekerjaan yang sama. Selain itu permintaan tenaga kerja di Malaysia cukup tinggi, sehingga wajar bila arus TKI ke Malaysia cukup tinggi.

Namun kenyataannya jalan legal menjadi TKI di Malaysia tidaklah semudah dan semurah yang dibayangkan, akibatnya banyak TKI yang menempuh jalan illegal. Menurut Menteri Luar Negeri hasan Wirayudha sampai sat ini Malaysia tercatat lebih dari 178.000 TKI illegal. Sebelumnya, isu tenaga kerja ini sempat memanaskan hubungan diplomati karena dipicu berbagai peristiwa. Diantaranya, pemulangan paksa sekitar 150.000 TKI illegal ke Nunukan-kalimantan Timur belum lama ini. Pemberlakuan UU Keimigrasian Malaysia yang memberlakukan hukum cambuk dan penjara 6bulan bagai tenaga kerja illegal, demonstrasi bagi Malaysia di Kedubes Malaysia di Jakrta, dan pelanggaran warga negara Malaysia untuk bepergian ke Indonesia.

Lambannya penanganan terhadap TKI ilegal karena kurangnya koordinasi antar Menteri yang bersangkutan, terlihat setengah-tengah dan juga menunjukkan lemahnya kapabilitas dalam mengantisipasi masalah tenaga kerja illegal. Permasalahan TKI illegal masih menjadi problem klasik hingga saat ini bagi Indonesia. Di pihak lain, setiap negara menginginkan tenaga kerja legal bukan tenaga kerja illegal. Adanya kasus TKI ilegal, sudah seharusnya pemerintah mengusahakan menajdi TKI legal.

Dari berbagai masalah yang timbul dan berhubungan dengan TKI, menjadi permasalahan yang menarik untuk kita bahas dan memberikan jalan keluarnya. Dari berbagai macam masalah itu, salah satunya yang ingin saya bahas yaitu tentang perjanjian kerja. Ada berbagai amcam definisi tentang perjanjian kerja, yang dikemukakan oleh para ahli ekonomi.

Pengertian perjanjian kerja terdapat dalam pasal 1601 a-KUH Perdata, yaitu suatu perjanjian di mana pihak yang satu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak yang lain, majikan, selama suatu waktu tertentu dengan menerima upah.

Profesor Iman Soepomo mengatakan, perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak yang stu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak lain, majikan, selama suatu waktu tertentu dengan mnerima upah dan di mana pihak yang lain, majikan, mengikatkan diri untuk mempekerjakan pihak yang satu, buruh, dengan membayar upah.

Profesor Soebekti memberikan pengertian perjanjian kerja sebagai berikut : Perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian yang ditandai oleh cirri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya sutu “hubungan diperatas” (dienstverhouding), yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan ) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh yang lain.

Dari berbagi macam definisi dan rumusan perjanjian kerja di atas, maka dapat disimpulkan bahwa paling tidak ada empat unsure agar suatu perjanjian dapat disebut sebagai perjanjian kerja. Keempat unsur itu adalah :

1. Ada Pekerjaan

Pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus dilakukan oleh buruh untuk kepentingan majikan sesuai dengan isi perjanjian kerja. Hal ini merupakan pokok dari klausula “buruh mengikatkan diri untuk bekerja”. Pada dasarnya buruh sendiri yang harus melakukan pekerjaan tersebut, atas izin majikan, buruh dapat menyuruh orang ketiga (orang lain) untuk menggantikan pekerjaan. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1603 a KUHPerdata, yaitu : buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya, hanyalah dengan izin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya.

2. Ada Upah

Dalam pasal 1 ayat (5) UU nomor 3 Thun 1992 ditegaskan bahwa upah adalah penrimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada tenaga kerja untuk suatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang ditetapkan menurut suatu perjanjian atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasr suatu perjanjian kerja natar pengusaha dengan tenaga kerja, termasuk tunjangan, baik untuk tenaga kerja sendiri maupun keluarganya. Intinya upah merupakan imbalan prestasi yang dibayarkan oleh majikan kepada buruh atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh buruh.

Tidak ada upah apabila tidak ada perjanjian (no work, no pay). Dalam KUHPerdata ditegaskan dalam pasal 1602 b, yang berbunyi : Tidak ada upah dibayar untuk waktu buruh tidak melakukan pekerjaan yang diperjanjikan. Ketentiuan ini dipertegas kembali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang perlindungan upah. Dalam apsal 2 ditegaskan bahwa hak untuk menerima upah timbul pada saat hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja putus. Dalam pasal 4 ditegaskan bawa upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan.

Dalam Pasal 1 ayat (5) uu Nomor 3 tahun 1992 ditegaskan bahwa ditetapkan menurut (a) perjanjian, atau(b) peraturan perundang-undangan. Terhadap ketentuan ini harus ditafsirkan bahwa upah boleh ditetapkan menurut perjanjian apabila tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

3. Di Bawah Perintah

Unsur yang paling khas dari perjanjian kerja adalah bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh buruh berada di bawah perintah majikan. Dalam perjanjian kerja, unsure tersebut harus ada (di bawah perintah). Apabila sama sekali tidak ada perjanjian kerja. Unsur ketaatan sebagai perwujudan dari “di bawah perintah”, maka dalam pasal 1601 i ditegaskan bahwa perjanjian kerja antara suami istri adalah batal.

Prakteknya, untuk mewujudkana danya unsure “di bawah perintah” karena berbagai sebab, misalnya jumlah buruh cukup banyak, atau buruh dibagi dalam berbagai bagian, buruh harus mentaati peraturan kerja yang ada di perusahaan. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1603 b , yaitu : Buruh diwajibkan mentaati peraturan-peraturan tentang hal melakukan pekerjaan serta aturan-aturan yang ditujukan pada perbaikan kepadanya oleh atau atas nama majikan di dalam batas-batas aturan-aturan undang-undang atau perjanjian maupun reglemen, atau jika itu tidak ada, menurut kebiasaan. Kenyataan tidak mudah untuk menentukan apakah di dalam perjanjian antara suatu pihak dengan pihak lain ada atau tidak ada unsure “di bawah perintah” ini.

4. Waktu Tertentu

Yang hendak ditunjuk oleh perkataan waktu tertentu atau zekere terjadi sebagai unsure yang harus ada dalam perjanjian kerja adalah bahwa hubungan kerja antara majikan dengan buruh tidak berlangsung terus menerus atau abdi. Jadi bukan waktu tertentu yang dikaitkan dengan lamanya hubungan kerja antara majikan dengan buruh waktu tertentu tersebut dapat ditetapkan dalam perjanjian kerja, dapat pula tidak ditetapkan. Di samping itu, waktu tertentu tersebut, meskipun tidak ditetapkan dalam perjanjian kerja, mungkin pula didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau kebiasaan.

B. Perumusan Masalah

Seteleh diuraikan tentang definisi dan unsure-unsur perjanjian kerja di atas, maka akan timbul beberapa pertanyaan :

1. Bagaimana bentuk perjanjian kerja ?

2. Apa saja subyek perjanjian kerja ?

3. Apa saja isi perjanjian kerja ?

4. Bagaimana kewajiban para pihak dalam perjanjian kerja ?

5. Bagaimana perubahan perjanjian kerja ?

6. Bagaimana perpanjangan perjanjian kerja ?

7. Bagaimana perpindahan perjanjian kerja ?

8. Apa yang dimaksud dengan perjanjian kerja persaingan ?

9. Bagaimana perjanjian kerja laut ?

10. Apa yang dimaksud dengan perjanjian kerja tertentu ?

11. Kenapa ada larangan mengadakan perjanjian kerja antar suami dan istri ?

II. PEMBAHASAN

A. Bentuk Perjanjian Kerja

Bentuk Perjanjian Kerja adalah bebas, Artinya perjanjian krja tersebut dapat dibuat secara :

1. Tertulis

2. Lisan / tidak tertulis

Pengecualian : Untuk beberapa perjanjian kerja tertentu seperti perjanjian kerja laut, perjanjian kerja AKAD (Antar Kerja Daerah), dan perjanjian kerja AKAN (Antar Kerja Antar Negara), harus dibuat secara tertulus. Perjanjian kerja yang dibuat tertulis lebih menjamin adanya kepastian hukum.

B. Subyek perjanjian Kerja

Syarat syanya perjanjian terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu kesepakatan, kecakapan, hal tertentu, sebab yang halal (diperkenankan). Kecakapan merupakan salah satu syarat subyektif (mengenai subyeknya) perjanjian. Syarat subyektif lainnya adalah kesepakatan.

Yang disebut sebagai kekhususan mengenai subyek dalam perjanjian kerja hanyalah terletak pada : KUHPerdata menentukan bahwa orang dewasa adalah orang yang telah berumur 21 tahun atau lebih atau telah kawin, maka menurut UU Nomor 12 Tahun 1948, orang dewasa adalah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur 18 tahun ke atas. Dengan demikian pengertian “orang dewasa” dalam hukum perburuhan berarti orang yang telah berumur 18 tahun atau lebih. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata, sepanjang menyangkut masalah kedewasaan, maka yang harus diberlakukan adalah ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 12 Tahun 1948.

C. Isi Perjanjian Kerja

Isi prejanjian kerja merupakan “jantung”nya perjanjian kerja. Ia berkaitan dengan pekerjaan yang diperjanjikan. Adakalanya isi perjanjian kerja ini dirinci dalam perjanjian, tetapi sering juga hanya dicantumkan pokok-pokoknya saja. Isi perjanjian kerja, sebagaimana isi perjanjian pada umumnya, tidak boleh bertentangan dengan (a) Undang-undang, (b) Kesusilaan dan (c) Ketertiban umum.

Dikatakan bertentangan dengan undang-undang apabila isi perjanjian kerja bertentangan dengan keharusan yang dibebankan oleh undang-undang. Sanksi terhadap isi perjanjian kerja yang bertentangan dengan undang-undang barmacam-macam, dapat merupakan kebatalan atau pidana.

Tidak ada batasan secara khusus mengenai makna prejanjian yang bertentangan dengan kesusilaan. Menurut Profesor Iman Soepomo, pada umumnya perjanjian bertentangan dengan kesusilaan jika perjanjian itu bertentangan dengan asas peradaban yang menjadi sendi peri kehidupan negara dan masyarakat. Suatu perjanjian kerja jelas bertentangan dengan kesusilaan misalnya :

1. Buruh wanita harus berpakaian sedemikian rupa, yang dengan berpakaian seperti itu dapat meninggalkan rangsangan seksual bagi laki-laki.

2. Buruh tidak boleh meraih kehidupan yang layak.

3. Buruh tidak boleh melangsungkan prekawinan.

Isi perjanjian kerja bertentangan dengan ketertiban umum apabila pelaksanaan perjanjian kerja tersebut mengganggu tata tertib pergaulan hidup dalam masyarakat. Misalnya pelaksanaan perjanjian kerja mengganggu arus lalu lintas.

D. Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja

Dalam perjanjian kerja, baik buruh maupun majikan, masing-masing mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban buruh pada umumnya tersimpul dalam hak majikan, seperti juga hak buruh tersimpul dalam kewajiban majikan.

1. Kewajiban Buruh

Kewajiban buruh diatur dalam apsal 1603, 1603a, 1603b, 1603c, dan 1603d KUHPerdata. Dari pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan beberapa kewajiban buruh, yaitu :

a. Melakukan pekrjaan

Melakukan pekerjaan merupakan kewajiban yang paling utama bagi seorang buruh, di samping kewajiban-kewajiban lainnya, seperti yang tersimpul dari bunyi pasal 1603.

Pekerjaan yang wajib dilakukan oleh buruh hanyalah pekerjaan yang telah diperjanjikan. Dalam hal sifat dan luasnya (rincian) pekerjaan tidak dirumuskan dalam perjanjian atau peraturan majikan, maka hal itu ditentukan oleh kebiasaan. Di samping itu, buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya. Artinya ia tidak boleh mewakilkan kepada orang lain untuk melakukan pekerjaan tersebut. Perkecualian atas hal ini haruslah seizing majikan (pasal 1603a).

b. Mentaati peraturan tentang melakukan pekerjaan

Kewajiban buruh untuk mentaati peraturan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan melakukan pekerjaan ini merupakan perwujudan dari “di bawah perintah”nya buruh oleh majikan, seperti yang dinyatakan dalam pasal 1603b.

Penataan peraturan oleh buruh bukannya tidak terbatas. Perkataan “dalam batas” tresebut dalam pasal 1603b menunjukkan kita bahwa buruh hanya wajib mentaati peraturan mengenai pelaksanaan pekerjaan, sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, perjanjian, peraturan majikan atau kebiasaan.

Dalam apsal 373 KUHPerdata Dagang ditegaskan bahwa nahkoda wajib mengikuti dengan teliti aturan-aturan biasa dan peraturan-peraturan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, perjanjian, peraturan majikan atau kebiasaan.

Dalam pasal 343 KUHDagang ditegaskan bahwa nahkoda wajib mengikuti dengan teliti aturan-aturan biasa dan peraturan yang ada untuk menajmin kesiapan berlayar dan keamanan kapal, keamanan para penumpang dan keamanan pengangkutan muatan. Dalam pasal 384 ditegaskan bahwa selama waktu malakukan pekerjaan di kapal, pelaut wajib menaati dengan tertib perintah-perintah nahkoda.

c. Membayar ganti kerugian dan denda

Apabila perbuatan buruh, baik karena kesengajaan atau kelalaian, menimbulkan kerugian, maka ia harus membayar ganti kerugian. Buruh harus membayar denda apabila ia melanggar ketentuan dalam perjanjian kerja tertulis atau praturan majikan. Maka harus dibedakan antara kewajiban buruh untuk membayar ganti kerugian dengan kewajiban buruh untuk membayar denda. Buruh harus membayar ganti kerugian apabila kerugian tersebut benar-benar terjadi. Buruh sudah harus membayar denda apabila ia melanggar ketentuan dalam perjanjian kerja tertulis atau peraturan majikan. Pelanggaran atas perjanjian atau peraturan majikan tersebut mungkin menimbulkan kerugian mungkin juga tidak. Benar-benar timbulnya kerugian bukan merupakan syarat keharusan buruh untuk membayar denda. Mengenai ganti kerugian tersebut pasal 1601 W KUHPerdata menegaskan bahwa jika salah satu pihak dengan sengaja atau karena kesalahannya berbuat berlawanan dengan slah satu kewajibannya dan kerugian yang karenanya diderita oleh pihak lain tidak dapat dinilai dengan uang. Pengadilan akan menetapkan suatu jumlah uang menurut keadilan sebagai ganti kerugian. Tentang ganti kerugian ini diatur juga dalam pasal 1601 V (1) dan (2), pasal 410 KUHDagang, dan Pasal 387 KUHDagang.

2. Kewajiban Majikan

Kewajiban yang paling utama seorang majikan adalah membayar upah. Sedangkan kewajiban-kewajiban lainnya adalah (a) mengatur pekerjan dan tempat kerja, (b) memberikan cuti, (c) memberikan surat keterangan, (d) mengurus perawatan dan pengobatan. Yang disebutkan ini adalah beberapa kewajiban yang dirinci oleh undang-undang, sedangkan kewajiban umum seorang majikan tercantum dalam pasal 1602 Y KUHPerdata.

Kewajiban majikan yang disebutkan di atas hanyalah beberapa kewajiban yang dirinci oleh undang-undang, sementara masih banyak kewajiban lainnya. Perlindungan kepada buruh majikan. Oleh karena itu, sering pelanggaran atas kewajiban tersebut diancam dengan pidana.

a) Membayar Upah

Tujuan utama buruh bekerja adalah untuk mendapatkan upah. Kewajiban yang paling utama adalah membayar upah. Besarnya upah dapat ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan majikan atau perjanjian perburuhan. Pene ntuan besarnya upah tersebut tidak boleh bertenmtangan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 tahun 1989 tentang upah minimum. Pelanggaran atas ketentuan tersebut diancam dengan pidana.

(1) Beberapa Ketentuan Mengenai Upah

Tidak ada upah apabila buruh tidak melakukan pekrjaan. Hal ini ditegaskan oleh pasal 1602 b KUHPerdata dan pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1981 tentang perlindungan upah. Undang-Undang juga meletakkan kewajiban kepada majikan untuk membayar upah dalam hal buruh tidak melakukan pekerjaan. Perkecualian yang ditentukan oleh undang-undang tersebut adalah sebagai berikut :

Pertama, apabila buruh sakit atau kecelakaan berhalangan melakukan pekerjaan. Hal ini diatur dalam pasal 1602 c, pasal 416 KUHDagang, pasal 5 ayat (1) huruf (a) dan (b) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981.

Kedua, apabila buruh melaksanakan kewajiban yang diletakkan kepadanya oleh undang-undang atau penguasa negara tanpa penggantian berupa uang, yang kewajiban tersebut tidak dapat dilakukan di luar waktu kerja.

Ketiga, apabila buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah diperjanjikan, tetapi majikan tidak menggunakannya, baik karena salahnya sendiri maupun bahkan karena halangan yang kebetulan mengenai dirinya pribadi. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1602 d. Untuk berlakunya pasal 1602 d ini harus ada dua syarat kumulatif, yaitu (a) buruh bersedia bekerja, dan (b) majikan tidak mempergunakan kesempatan tersebut karena keadaan yang disebutkan di atas. Selain itu juuga diatur dalam pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nonor 8 Tahun 1981.

(2) Bentuk Upah

Berdasarkan pasal 1601 P sampai dengan pasal 1601 r, upah dapat berbentuk (a) uang, (b) barang, (c) jasa. Ketentuan yang dapat dikatakan sama tercantum dalam pasal 12 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981. mengenai upah yang tidak berbentuk uang, berarti berbentuk barang atau jasa, beberapa peraturan menentukan sebagai berikut :

- Peraturan tentang memperkerjakan buruh (indiensteneming van werklieden) diatur dalam pasal 4 dan pasal 5.

- Perjanjian kerja di laut (zee-ardbeidsorverseenkomst) diatur dalam pasal 429 dan pasal 436 KUHDagang.

- Peraturan tentang panglong Riau (Riauw Panglong Regeling) diatur dalam pasal 20.

- Kitab Undang-undang Hukum Perdata diatur dalam apsal 1602 x ayat (1) dan (2).

(3) Cara Pembayaran Upah

Majikan wajib membayar upah kepada buruh pada waktu yang telah ditentukan (pasal 1602 KUHPerdata). Mengenai hal ini pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 menentukan bahwa jangka waktu pembayaran upah secepat-cepatnya dapat dilakukan seminggu seperti atau selambat-lambatnya sebulan sekali, kecuali jika perjanjian kerja untuk waktu kurang dari satu minggu.

Pada tiap keli pembayaran seluruh jumlah upah harus dibayarkan (pasal 1602 P KUHPerdata dan pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981). Pemotongan upah hanya diperkenankan dalam hal yang telah ditegaskan dalam pasal 1602 n KUHPerdata, dan ketentuannya diatur dalam pasal 22 Peraturan pemerintah Nomor 8 tahun 1981.

Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1981, yakni tentang tempat pembayaran upah. Dalam pasal 1602 i menegaskan tentang pembayaran upah yang berupa uang yang dilakukan menurut jangka waktu tertentu. Tenggang waktu pembayaran yang ditetapkan dalam apsal 1602 i tersebut boleh diperpendek berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

(4) Kedudukan Upah

Pasal 1139 KUHPerdata menentukan bahwa piutang-piutang diistimewakan terhadap benda-benda tertentu/privilegie khusus, yaitu hak didahulukan terhadap benda-benda tertentu dari debitur. Sedangkan pasal 1149 KUHPerdata, merupakan priviligie umum. Jika priviligie khusus berhadapan dengan priviligie umum, maka priviligie khusus lebih didahulukan (pasal 1138 KUHPerdata)

b) Mengatur Pekerjaan dan Tempat Kerja

Salah satu kewajiban majikan yaitu mengatur pekerjaan dan tempat kerja. Pengaturan pekrjaan dan tempat kerja ini oleh Profesor Iman Soepomo merupakan bidang yang disebut dengan kesehatan kerja dan keamanan kerja.

Peraturan –peraturan mengenai kesehatan dan keamanan kerja pada umumnya merupakan peraturan yang bersifat publik-rechtelijik (antara lain diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948). Dalam KUHPerdata ada tiga pasal yang berkaitan dengan hal itu, yaitu pasal 1602 u, 1602 v, dan 1602 w.

c) Memberikan Cuti

Majikan wajib memberikan libur kapada buruh pada hari minggu atau hari raya, atau hari lain yang menurut kebiasaan setempat dipandang sebagai hari minggu. Demikian ditegaskan oleh pasal 1602 v KUHPerdata. Mengenai cutu tahunan diatur dalam pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 1948, dalam ayat (1) (ayat ini diberlakukan berdasarkan PP Nomor 21 Tahun !954), dan ayat (2) (ayat ini belum berlaku).

d) Memberikan Surat Keterangan

Kewajiban lain seorang majikan yang diletakkan oleh undang-undang adalah memberikan surat keterangan. Apabila buruh menghendaki, majikan wajib memberikan surat keterangan pada saat hubungan kerja berakhir. Surat keterangan ini berisi tentang (1) sifat pekerjaan yang dilakukan oleh buruh, dan (2) lamanya hubungan kerja antara majikan dengan buruh. Jika diperlukan dalam surat keterangan tersebut dapat ditambahkan tentang (1) cara buruh telah melaksanakan pekerjaannya, dan (2) bagaimana hubungan kerja berakhir.

Tiap janji yang akan mengakibatkan kewajiban majikan tersebut dikecualikan adalah batal demi hukum. Hal-hal tersebut dicantumkan dalam pasal 1602 z KUHPerdata.

e) Mengurus Perawatan dan Pengobatan

Dalam pasal 1602 c dan apsal 1602 x terdapat perkataan “sakit dan mendapat kecelakaan”. Tetapi klausula berikutnya masing-masing pasal tersebut membedakan makna yang hendak ditunjuk oleh kedua pasal itu.

Yang hendak ditunjuk oleh pasal 1602 c adalah sakit dan mendapat kecelakaan, yang menyebabkan buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya, baik itu sakit badaniah maupun rohaniah. Yang hendak ditunjuk oleh pasal 1602 x adalah sakit dan mendapat kecelakaan, tanpa mempersoalkan apakah hal itu menyebabkan buruh berhalangan atau tidak melakukan pekerjaaannya.

Dengan berlakunya UU nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, maka berdasarkan asas lex specialist derogat lex generalis, pasal 1602 x KUHPerdata sudah harus dianggap tidak berlaku lagi, sebab dalam undang-undang ini telah diatur secara rinci mengenai penyelenggaraan perawatan dan pengobatan bagi buruh.

E. Perubahan Perjanjian Kerja

Perubahan atas isi perjanjian kerja harus didasarkan pada kesepakatan kedua pihak, yaitu majikan dan buruh. Hal ini dapat disimpulkan dari asas yang terkandung dalam pasal 1338 KUHPerdata. Selain itu juga diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.

F. Perpanjangan Perjanjian Kerja (Voortzettung)

Perjanjian kerja yang telah habis waktunya dapat diperpanjang. Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu diatur dalam pasal 1603 f ayat (1). Untuk perjanjian kerja dengan waktu tidak tertentu masalah perpanjangan bukan merupakan hal yang rumit,sebab perjanjian kerja yang demikian itu terus berlangsung sampai benar-benar diakhiri.

G. Perpindahan Perjanjian Kerja (Overneming Arbeidsovereenkomst)

Dalam KUHPerdata tidak diatur dengan tegas. Tetapi pasal 1576 KUHPerdata dan UU Nomor 12 Tahun 1964 mengatur tentang hal ini. Buruh tidak dapat dipaksa untuk menyetujui pemindahan perjanjian kerja asli kepada majikan baru. Buruh juga tidak dapat dipaksa untuk menyetujui perpindahan perjanjian kerja baru kepada majikan baru. Berkaitan dengan perpindahan perjanjian kerja ini diatur juga dalam pasal 9 ayat (1) dan 10 Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perkebunan.

H. Perjanjian Kerja Persaingan (Corcurrentie-Beding)

Yang akan dibahas adalah perjanjian kerja yang di dalamnya terdapat klausula untuk mencegah persaingan antar perusahaan. Latar belakangnya adalah karena berbagai alasan, dalam praktek sering terjadi pemutusan hubungan kerja. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang merugikan KUHPerdata memperkenankan perjanjian kerja yang di dalamnya terdapat klausula untuk mencegah persaingan, hal ini ditegaskan dalam pasal 1601 x ayat (1).

I. Perjanjian Kerja Laut

Pengertian perjanjian kerja laut terdapat dalam pasal 395 KUHDagang, dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian kerja laut pada dasarnya merupakan perjanjian kerja juga. Hal ini dipertegas oleh pasal 396 KUHDagang. Tentang bentuk perjanjian kerja laut ini diatur dalam pasal 399 ayat (1) dan pasal 400 (1) KUHDagang. Tentang isi perjanjian kerja laut ini diatur dalam pasal 401 KUHDagang.

Sedangkan mengenai upah diatur dalam pasal 402 ayat (1) dan ayat (2). Dengan berlakunya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 Tahun 1989 tentang upah minimum regional. Dalam perjanjian kerja laut tidak boleh ada klausula tentang perjanjian kerja persaingan, diatur dalam 404.

Pasal 1603 n KUHPerdata menegaskan bahwa tiap pihak dapat mengakhiri hubungan kerja tanpa pernyataan pengakhiran berdasarkan alasan-alasan mendesak. Selain itu juga diatur dalam pasal 418, 411 KUHDagang, pasal 1603 o KUHPerdata, UU Nomor 12 Tahun 1964 dan pasal 1601.

Tentang ketentuan pidana dalam hubungan kerja laut diatur dalam pasal 93, 453, 455, 466, 471, 473, 474, 475, 476, 477 KUHPidana.

J. Perjanjian Kerja Tertentu

Kata “tertentu” yang dirangkai dengan kata “perjanjian kerja” dimaksudkan untuk menunjukkan “tertentu” atau “terbatasnya” waktu perjanjian kerja tersebut makna perjanjian kerja tertentu terdapat dalam pasal 1 huruf (a) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 /MEN/1986. tentang pembatasan dalam perjanjian kerja tertentu diatur dalam pasal 4 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 05/MEN/1986.

Tentang syarat formal dalam perjanjian kerja tertentu tertuang dalam pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja. Sedangkan syarat material diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Tentang pemutusan Hubungan Kerja yang berasala dari pengusaha tetap terikat apda Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 Joncto Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04/MEN/1986.

Tentang kesalahan berat dan alasan memaksa, berikut ini adalah bunyi pasal 17, 19 dan 20 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 05/MEN/1986.

K. Larangan Mengadakan Perjanjian Kerja Antar Suami dan Istri

Dalam pasal 1601 i ditegaskan bahwa prjanjian kerja antara suami dan istri adalah batal. Dalam pasal 106 ayat (1) KUHPerdata ditegaskan bahwa setiap istri harus tunduk patuh kepada suaminya. Pada saat ini menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, kedudukan seorang suami dan istri adalah sejajar dan seimbang.

III. PENUTUP

Kesimpulan

Setelah kita membaca dan memahami segala sesuatui tentang perjanjian kerja, maka kita akan lebih tahu dan mengerti serta berhati-hati untuk mengadakan sutu perjanjian, terlebih lagi mengenai perjanjian kerja. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para TKI semoga tidak terulang lagi, dan menjadi pelajaran bagi kita untuk mensikapinya dengan lebih hati-hati lagi dalam melakukan sesuatu hal yang berhubungan dengan pekerjaan.

Dalam melakukan perjanjian kerjapun harus hati-hati karena jika melakukan kesalahan dan melanggar ketentuan yang telah dibuat diancam dengan hukuman pidana. Perjanjian kerja membuat agar majikan lebih bijaksana dan buruh melakukan pekerjaannya dengan baik. Dan perlu diketahui bahwa perjanjian kerja anatar suami dan istri batal dilakukan karena adanya sutu ikatan perkawinan yang sah menurut hukum.

Saran :

Dengan adanya makalah ini semoga menambah pengetahuan kita tentang perjanjian kerja dan mensikapi segala bentuk perjanjian termasuk perjanjian kerja dengan hati-hati, terutama ketika kita berhubungan dengan dunia kerja. Dan semoga dengan sikap kehati-hatian kita tidak akan ada lagi kasus TKI yang menghebohkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Achmad Budiono, Hukum Perburuhan di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta,1997

Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta ,1985.

Sendjun H. Manulang, Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1995.

Dyah Mutiarin SIP, Msi, Analisis ; TKI, Manajemen Separuh Hati, Kedaulatan Rakyat, Rabu Legi 11 Desember 2002, halaman 1.