Kamis, 17 April 2008

ASPEK HUKUM KERAHASIAAN PAJAK

PENGANTAR

Masalah kerahasiaan nampaknya terus menjadi pembicaraan yang hangat dan menarik, baik dikalangan akademik maupun di kalangan praktisi dalam mencari solusi yang terbaik sehubungan dengan kegiatan bisnis sehari-hari.

Kerahasiaan yang sering dibicarakan dalam seminar-seminar maupun tulisan-tulisan di media masa adalah kerahasiaan dibidang dunia perbakan dan kerahasiaan dalam dunia perpajakan. Mengapa dua dunia ini yang sering dibicarakan, tidak lain karena dua perbankan lebih dominan dalam menangani maju mundurnya masalah bisnis yang dijalankan oleh kaum usahawan dalam kaitan dengan sumber pembiayaan yang disediakan oleh bank. Sedangkan dunia pajak lebih banyak berkaitan dengan pertanyaan bagaimana dunia bisnis dapat membayar pajak sekecil mungkin melalui penampilan data yang disajikan, tanpa dikenakan sanksi menurut ketentuan yang berlaku.

Kerahasiaan dibidang perpajakan ini menjadi sangat penting, karena masih banyak masyarakat yang ingin mengetahui apa sebenarnya kerahasiaan pajak itu dan bagaimana peran sanksi yang telah diatur dalam Undang – undang pajak yang sekarang berlaku. Oleh karenanya, penulis mencoba memaparkan kerahasiaan dibidang perpajakan dengan menekankan pada aspek hukumnya.

PENGATURAN

Masalah kerahasiaan secara umum sebenarnya telah diatur didalam pasal 322 dan pasal 323 Kitan Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Isi selengkapnya dari kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 322 ayat (1) berbunyi :

“ Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah”. Ayat (2)-nya berbunyi : “ Jika kejahatan dilakukan seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang tua”.

Sedangkan Pasal 232 ayat (1) berbunyi :

“ Barangsiapa dengan sengaja memberitahukan hal-hal khusus tentang suatu perusahaan dagang, kerajinan, atau pertanian, dimana ia bekerja atau dahulu bekerja, yag olehnya atau dahulu dirahasiakan diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah”. Dan ayat (2)-nya berbunyi : “ Kejahatan ini hanya dituntut atas pengaduan perusahaan itu”.

Khusus mengenai masalah kerahasiaan dibidang pajak, telah diatur secara jelas dalam Pasal 34 dan Pasal 35 Undang-undang Nomor 9 tahun 1994, yang isi selengkapnya menyatakan sebagai berikut:

Pasal 34 ayat (1) berbunyi:

“ Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, kecuali sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan”. ( ayat 2).

“ Untuk kepentingan negara, Menteri keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga-tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) supaya memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuknya”. (ayat 3).

Untuk pemeriksaan dipengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, menteri keuangan dapat memberi izin tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Bukti tertulis dan keterangan Wajib pajak yang ada padanya”. (ayat 4).

“ Permintaan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4), harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan antar pekerja pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta tersebut”. (ayat 5)

Selanjutnya, Pasal 35 berbunyi:

“ Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan, atau bukti dari bank, Akuntan Publik, Notaris, Konsultan Pajak, Kantor Administasi dan pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa atau disidik atas permintaan tertulis dari Direktur jendral Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta”. (ayat 1)

“ Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan atau penyidikan pajak, kewajiban merahasiakan tersebut ditaidakan, kecuali untuk Bank kewajiban merahasikan ditiadakan atas perintah tertulis dari Menteri keuangan “. (ayat 2).

Sekarang pertanyaan, siapa yang dimaksud dengan pejabat, dasar acuan kita tentunya yang dilihat ketentuan dalam Undang-Undang no. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepgawaian. Disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan pejabat (yang berwenang) adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat dan atau memberhentikan pegawai negeri berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Untuk membatasi pengertian kita tentang pejabat, maka jalan pikiran kita tentunya akan tertuju pada pejabat dalam arti seseorang Pegawai Negeri yang memangku suatu jabatan tertentu dalam lingkungan jabatan disutau pemerintahan. Hal ini dapat dimengerti karena memang hanya pejabat-pejabat dalam pemerintahannya yang mengeluarkan policy tertentu.

Akan tetapi, jika dilihat bunyi pasal 34 dan 35 Undang-Undang no. 6 tahun 1983, ternyata yang dimaksud dengan pejabat dalam hal ini adalah setiap petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas dibidang perpajakan. Bahkan para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, pengacara dan sebagainya yang ditunjuk oleh Direktur Jendral Pajak untuk membantu pelaksanaan Undang-undang perpajakan pada hakekatnya adalah sama juga dilarang untuk mengungkapkan kerahasiaan wajib pajak.

Sedangkan yang dimaksud dengan rahasia adalah segala sesuatu yang tersembunyi (hanya boleh diketahui oleh seorang atau beberapa saja); ataupun yang sengaja disembunyikan supaya orang lain jangan mengetahuinya.

Mengapa kerahasiaan Wajib pajak ini perlu dilindungi oleh setiap pejabat yang menangani masalah perpajakan. Minimal 2 alasan yang dapat dikemukakan, yaitu:

Pertama, untuk mencegah adanya persaingan dengan antara satu Wajib Pajak dengan Wajib Pajak lainnya, dan kedua, untuk mencegah dalam hal mengungkapkan asal usul kekayaan atau penghasilan yang diperoleh Wajib pajak, yang pada hakekatnya merupakan rahasia pribadi sesuai dengan asas hukum pajak.

Karena soal pajak ini merupakan soal pribadi seseorang yang tidak perlu diketahui orang lain, maka soal harta harta kekayaan, penghasilan atau utang adalah merupakan masalah pribadi yang harus dijamin oleh undang-undang an oleh para pelaksana undang-undang. Pejabat yang menangani masalah perpajakan tidak diperbolehkan menceritakan atau memberitahukan hak kekayaan dan sebagainya dari Wajib Pajak kepada pihak lain. Kewajiban ini telah ditegaskan dalam pasal 34 seperti dijelaskan diatas, melalui apa yang disebut Rahasia Jabatan.

Jika Wajib pajak telah melaporkan kewajiban perpajakannya dan keterangan lainnya kepada pejabat yang menangani masalah perpajakan. Wajib Pajak harus merasa aman bahwa informasinya tidak akan diketahui secara sengaja atau tidak akan diketahui oleh puhak lain. Bila pejabat secara sengaja atau tidak sengaja (lalai, tidak hati-hati dan tidak memperdulikan kewajibannya) menceritakan lebih lanjut perihal pajak kepada pihak lain, maka tindakan pejabat dimaksud dapat dituntut hakim, karena Wajib Pajak merasa dirinya telah dirugikan.

Ihwal mengenai rahasia jabatan juga dapat kita lihat dalam peraturan perundang-undangan lainnya seperti ditegaskan dalam pasal 2 PP. nomor 30 tahun 1980 yang mewajibkan setiap Pegawai negeri untuk menyimpan rahasia negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya. Sementara pasal 13 juga menegaskan bahwa setiap pegawai negeri dilarang membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia negara yang diketahui karena kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain.

KLACHT - DELICT

Dalam masalah perpajakan pejabat sebagaimana dimaksdu pasal 34 harus mengetahui dengan jelas informasi atau ada apa yang harus dirahasiakan dan data mana yang bukan rahasia. Sebab bisa saja terjadi perbedaan penafsiran antar pejabat. Sebab bisa saja terjadi perbedaan penafsiran anatar pejabat yang satu dengan lain. Misalnya mengenai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), apakah merupakan suatu yang rahasia atau bukan, data alamat Wajib Pajak, apakah data rahasia atau bukan.

Sulitnya menentukan elemen-elemen data apa saja yag harus dirahasiakan, perlu dijelaskan bahwa kriteria-kriteria tertentu, karena undang-undang tidak mengaturnya secara jelas. Karena tidak jelasnya tentu bisa timbul pertanyaan-pertanyaan lain seperti: apakah untuk mengetahui alamat wajib pajak merupakan rahasia; apakah untuk mengetahui jabatan seseorang wajib pajak merupakan rahasia; apakah untuk mengetahui penghasilan bruto atau netto merupakan rahasia? Apakah untuk mengetahui Wajib Pajak merupakan rahasia? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang menyangkut informasi Wajib Pajak.

Seandainya hal-hal tersebut telah diatur, maka jelas pejabat akan berpikir supaya menyimpan rahasia Wajib Pajak dengan baik, dan pejabat dikemudian hari. Bila tidak Wajib Pajak apat menuntut pejabat yang telah membocorkan rahasia yang harus dipegangnya.

Bila rahasia Wajib Pajak bocor karena tinadakan seorang pejabat, tindakan tersebut melanggar Pasal 322 KUHP. Bahkan bagi setiap orang dimana ia bekerja dirahasiakan, tetapi dengan sengaja diberitahukan kepada pihak lain, telah melanggar pasal 323 KUHP.

Tetapi perlu diingat, bahwa penuntutan ini hanya dapat dilakukan sepanjang ada pengaduan dari pihak lain yang dirugikan (klctdelicten). Dengan kata lain, bila tidak ada pengaduan. Dalam huum pidana tindak pidana demikian disebut dengan delix aduan.

Selanjutnya alam undang-unang pajak tidak mengatur bagaimana ketentuan dari proses pengaduan dapat dilaksanakan, sehingga timbul berbagai pertanyaan: kapan pengaduan itu dapat dilakukan; apakah pengaduan dapat ditarik kembali; kalau dapat, dalam jangka waktu berapa lama atau tanpa ada batas waktu; Kapan penuntutan tersebut kadaluwarsa dan bagaimana kalau yang dituntut meninggal dunia.

Untuk mengetahui itu semua kita kembali ke ketentuan yang diatur KUHP an Hukum Acaranya (KUHAP). Seperti diketahui bahwa jika UU pajak (sebagai ketentuan yang bersifat khusus) tidak mengaturnya maka dapat dilihat dalam KUHP (sebagai ketentuan yang bersifat umum).

Beberapa ketentuan mengenai KUHP dapat disebutkan sebagai berikut: Pertama, bahwa pengaduan oleh seseorang dapat dilakuakan dalam jangka waktu 6 bulan sejak diketahui tindak pidana oleh orang yang mengadu , kalau ia bertempat tinggal di luar Indonesia (pasal 74 KUHP).

Kedua, pengaduan yang telah dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan setelah tanggal pengaduan (Pasal 35). Ketiga, hak untuk menuntut bisa hilang apabila si tersangka meninggal dunia, atau karena daluwars. Batas daluwarsa adalah:

a. 1 tahun untuk semua pelanggaran dan untuk kejahatan yang dilakukan dengan alat-alat percetakan.

b. 6 tahun untuk kejahatan yang atasnya ditentukan hukuman denda, kurungan atau penjara yang tidak melebihi 3 tahun.

c. 12 than segala kejahatan yang atasnya ditentukan hukuman penjara yang melebihi 3 tahun.

d. 18 tahun untuk kejahatan yang atasnya ditentukan hukuman mati atau penjara seumur hidup.

ASPEK SANKSI

Menurut UU No. 9 tahun 1994, bila pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajibnnya menjaga kerahasiaan Wajib Pajak, akan diancam pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah). Dan apabila tindakannya dilakukan dengan sengaja akan diancam dengan pidana penjara selama 2 tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).

Berbeda dengan sanksi yang ada dalam UU No. 6 tahun 1983 yang bersifat kumulatif. Sanksi kumulatif ini menandakan keseriusan pemerintah dalam memandang sanksi hukum pelaksanaan UU pajak dapat berjalan dengan baik.

Sekilas membandingkan sanksi dalam UU Perbankan (UU No. 7 tahun 1992), nampak bahwa sanksi yang diatur dalam undang-undang Pajak terlalu ringan. Dalam undang-undang perbankan, sanksi yang diakibatkan kelalaian diancam pidana kurungan paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- ( sati miliar rupih) dan bila diakibatkan kesengajaan, diancam pidana penjara palaing lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- ( dua miliar rupiah).

Selain sanksi yang telah dikemukakan diatas, sanksi lain yang dapat dikenakan adalah sanksi disiplin Pegawai negeri, sesuai ketentua pasal 5 PP No. 30 tahun 1980 yang menyatakan, bahwa dengan tidak mengurangi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pidana pegawai negeri sipil yang melakukan pelanggaran disiplin akan dijatuhi hkuman disiplin oleh pejabat yang berwenang. Ini berarti terhadap pegawai negeri sipil selain dapat dijatuhi hukuman pidana dapat juga dijatuhi pidana, dapat pula dijatuhi hukuman disiplin Pegawai Negeri.

Dalam hubungan ini yang perlu diketahui adalah, bahwa penindakan seseorang karena melanggar PP No. 30 tahun 1980 berada dalam ruang lingkup penegakan disiplin, sedangkan penjatuhan hkuman yang didasarkan pada ketentuan peraturan pidana berada dalam ruang lingkum pemberantasan kejahatan. Dan suatu perkara yang berdasarkan KUHP hanya dapat dituntut bila ada suau pengaduan sedangkan yag berdasar PP No. 39 tahun 1980 tidak mempermasalahkan adanya pengaduan atau tidak.

KESIMPULAN

Dengan melihat perkembangan hkuman perpajakan yang ada, serta semakin canggihnya peralatan yang digunakan oleh Direktoral Jendral pajak, menimbulkan pemikiran bagaimana agar semua dana dan informasi yang ada dapat dijaga kerahasiaannya oleh pejabat seperti dimaksud dalam pasal 34 UU No. 9 tahun 1994.

Selain itu, untuk tidak menimbulkan salah penafsiran, kiranya perlu aturan lebih lanjut mengenai kriteria-kriteria tertentu yang menegaskan dana dan informasi apa saja yang harus dirahasiakan dan yang bukan, serta kriteria pejabat yang berhak menjaga kerahasiaan pajak.

Tidak ada komentar: