Kamis, 17 April 2008

DAMPAK UU PPN 1984 TERHADAP





Pembaharuan Sistem Perpajakan Nasional (PSPN) yang dilakukan pemerintah sejak awal 1981 antara lain telah berhasil mengeluarkan lima buah Undang-undang perpajakan yang penting. Salah satu undang-undang perpajakan tersebut adalah Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas barang Mewah (UU PPN 1984). Dalam seminar Nasional Hukum Pajak yang diselenggarakan Fakultas Hukum Pajajaran tanggal 15 Juli 1985, Menteri Keuangan, Radius Prawiro menyatakan:

Dalam Pelita IV dan seterusnya akan diusahakan agar PPN makin disempurnakan dan ditingkatkan pelaksanaannya. Keputusan terhadap pelunasan PPN pada waktunya, yaitu pembayaran pajak terutama secara tertib, dapat diharapkan PPN di masa mendatang akan merupakan bagian penerimaan negara yang sangat menonjol. PPN boleh dikatakan akan menajdi “money machine” karena memeberikan sumbangan yang sangat besar bagi penerimaan negara”.

Dallam pelaksanaannya memang ternyata bahwa PPN memberi kontribusi yang besar bagi penerimaan dan jumlahnya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun yang bahkan dapat melampaui penerimaan dari jenis pajak lainnya. Hal tersebut dapat diketahui dari table di bawah ini.

Tabel 1

PENERIMAAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SELAMA PELITA V

(dalam jutaan rupiah)

JENIS

1984/85

1985/86

1986/87

1987/88

1988/89

1989/90

PPh

PPn&PPn.BM.

PBB

Pajak.Lain

2.192,6

637,2

157,1

66,5

2.311,8

2.331,7

154,5

265,3

2.735,2

2.941,9

240,9

195,5

3.274,5

3.874,3

315,8

216,8

3.762,1

4.787,6

322,0

272,0

4.947,6

5.830,0

638,5

424,6

TOTAL

3.053,0

5.063,3

6.113,5

7.681,4

9.143,7

11.841,6

Catatan : Angka untuk tahun 1988/89 bersumber dari APBN sedangkan untuk tahun 1989/90 bersumber dari RAPBN.

Dari pernyataan Menteri Keuangan dan table 1 di atas menunjukkan bahwa Pemerintah bertekad menggali penerimaan pajak dari PPN.

UU PPN 1984 menggantikan Undang-undang Pajak Penjualan tahun 1951 (UU PPn 1951). Penggantian ini dilakukan karena PPn 1951 memilki beberapa kelemhan, antara lain:

1. PPn 1951 belum dapat menggerakan peran serta semua laporan pengusaha (yang dimaksud adalah pengusaha kena pajak) dalam meningkatkan pendapatan negara, mendorong ekspor dan pemerataan beban pajak.

2. Penghitungan pajak rumit karena adanya tarip pajak yang berbeda untuk golongan yang berbeda.

3. PPn 1951 dikenakan pada bahan baku yang diimpor dan kemudian dikenakan lagi pada satu atau beberapa tingkat pengolahan sampai pada penyerahan hasil produk akhir oleh pabrikan terakhir bsehingga menimbulkan beban pajak berganda (cascading tax).

Terdapat banyak perbedaan atau perubahan antara UU PPn 1951 dengan UU PPN 1984. Perbedaan itu antara lain meliputi perbedaan besarnya tariff, penetapan saat pajak berutang, system pemungutan, cakupan subyek dan obyek pajak, perlakuan terhadap pengusaha kecil, prosedur administrasi dan lain-lain.

Yang menjadi subyek pajak UU PPn 1951 dan UU PPN 1984 adalah pengusaha kena pajak, sehingga PPn 1951 dan PPN 1984 mempengaruhi dalam pengambilan keputusan oleh manajemen. Karena terdapat perbedaan antara UU PPn 1951 dengan UU PPN 1984 maka dampaknya terhadap keputusan manajemen dan aspek akuntansinya juga berbeda. Perbedaan-perbedaan yang diungkapkan di sini meliputi tarip pajak, penetapan saat pajak terutang dan prosedur administrasi dan akuntansinya.

Dalam tulisan ini pembahasan dilakukan dengan membandingkan besarnya dampak antara UU PPn 1951 dengan UU PPN 1984 terhadap keputusan manajemen dan aspek akuntansinya. Oleh karena undang-undang yang berlaku sakarang adalah UU PPN 1984 maka penilaian lebih ditekankan pada UU PPn 1984. Sebelumnya, diuraikan secara mengenai UU PPn 1951, Pajak Pertambahan Nilai dan UU PPN 1984.

q UU PPn 1951

Sebelum menetapkan UU PPn 1951 pemerintahan menggunakan UU Pajak Peredaran tahun 1950 (UU Ppe 1950). Dalam UU Ppe 1950, setiap peredaran barang yang diperjual-belikan kepada pembeli dikenakan PPE dengan tarip 2% pada setiap peralihan barang. Dasar pengenaan pajaknya adalah harga barang. Ppe ini menimbulkan beban pajak berganda karena pajak dikenakan pada setiap tahap penyerahan barang.

Dalam UU PPn 1951, pajak dikenakan atas pebrikan yang melakukan penyerahan barang di dalam daerah pebean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannnya sejak 1 Januari 1960 selain pabrikan, pajak penjualan juga diukenakan terhadap pengusaha jasa dalam daerah pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannnya. Ada 18 macam jasa yang dikenakan PPn ini. Sejak 22 maret 1968, diberlakukan UU No.2/1968 yang menetapkan bahwa pemasukan barang dari luar negeri ke dalam daerah pabean dikenakan PPn Impor. Dengan demikian pihak yang dikenakan PPn meliputi pabrikan, pengusaha jasa dan importir.

Menurut Due, ditinjau dari cara pengenaannya pajak penjualan dapat digolongkan dalam tujuh cara, bebarapa diantaranya adalah pajak peredaran atau pajak kumulatif, pajak pertambahan nilai pabrikan dan pajak pertambahan nilai grosir. PPn 1951 termasuk dalam golongan pajak peredaran atau pajak penjualan kumulatif, yaitu pajak yang dikenakan pada setiap tahap penyerahan b arang dan/atau jasa, mulai dari impor, pabrikasi dan distribusi hingga konsumen. Pajak yang telah dikenakan pada tahap sebelumnya tidak dinetralisir (dikreditkan misalnya) sehingga menimbulkan akumulasi beban pajak yang ditanggung konsumen dan terjadi pengenaan pajak atas pajak (cascading tax).

Ketentuan UU PPn 1951 yang berkenaan dengan tarip, penetapan saat pajak terutang dan prosedur administrasi dan akuntansinya dijelaskan di bawah ini.

Tarip

Tarip PPn 1951 diatur dalam UU PPn 1951 Bab II pasal 6 ayat 1 dan 2. dalkam perkembangannya, tarip pajak penjualan tersebut mengalami beberapa kali perubahan. Tarip pajak yang mula-mula berlaku berdasarkan UU PPn 1951 pasal 6 tersebut yaitu 20%. Untuk penyerahan barang-barang tertentu yang ditunjuk Menteri Keuangan, dikenakan tarip 5%. Tarip tersebut kemudian mengalami beberapa kali perubahan.

Tarip PPn 1951 yang terakhir adalah sesuai dengan Surat keputusan Menteri Keuangan No. 175/KMK/1979, yaitu:

1. Daftar untuk golongan barang dengan tariff 0%

2. Daftar II untuk golongan barang dengan tarip 1%.

3. Daftar III untuk golongan barang dengan tarip 2,55

4. Daftar IV untuk golongan barang dengan tarip 7,5%

5. Daftar V untuk golongan barang dengan tarip 20% (barang mewah)

6. Daftar VI untuk golongan barang dengan tarip 5%

7. Daftar VII untuk golongan barang dengan tarip 2,5% (jasa)

Dan, berdasar Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 693/KMK 04/1982 tanggal 22 Oktober 1982, tarip PPn untuk kendaraan yang berbentuk sedan, station wagon dan jeep adalah 40%, sedangkan untuk kendaraan bermotor yang berbentuk pick-up, delivery van, combi dan truk kecil dikenakan tarip PPn 20%.

Dalam perpajakn terdapat bebrapa jenis tarp, antara lain tarip tetap, tarip proporsional atau sepadan, tarip progresif dan tarip degresif. Jenis tarip pajak PPn suatu presentase tetap. Dalam hal ini jika dasar pengenaan pajak berubah secara sebanding atau proporsional dengan perubahan dasar pengenaan pajak tersebut.

Penetapan Saat Pajak Terutang

Penetapan saat pajak terutang diatur dalam UU PPn 1951 Bab II pasal 5 ayat 1. dalam UU tersebut ditetapkan saat terjadinya pelunasan atau pembayaran tunai harga jual atau saat pelunasan harga penggantian untuk jasa sebagai dasar kas (cash basis). Jadi bila terjadi penyerahan barang kena pajak (BKP) dan atau jasa kena pajak (JKP) namun tidak disertai dengan pelunasan atau pembayaran tunai maka pajak belum terutang.

Dalam hal pembayaran dilakukan dalam cicilan atau angsuran, pajak yang terutang tersebut sebesar pembayaran yang dilakukan konsumen (sebanding dengan pembayaran cicilannya).

Jika pembayaran dilakukan dengan menggunakan wesel, cek atau surat berharga maka pajak yang terutang adalah pada saat pemungutan atau penyerahan surat atau pembayaran tersebut kepada pihak ketiga.

Prosedur administrasi dan Akuntansi.

PPn 1951 termasuk pajak obyektif, yaitu pajak yang dikenakan atas benda. Untuk jenis pajak obyektif umumnya system pemungutan yang digunakan adalah self assessment system. Dalam UU PPn 1951 juga menerapkan self assessment system yang dapat dilihat dalam apsal 7 ayat 3 UU PPn 1951. Namun penerapan self assessment system dalam PPn 1951 tidaqk murni karena untuk hal-hal tertentu digunakan juga system pemungutan official assessment system maupun with holding system.

Untuk wajib pajak tertentu (wajib pajak yang ditunjuk) diterpakan official assessment system seperti yang dinyatakan dalam apsal 11 dan 13 UU PPn 1951. Wajib pajak yang ditunjuk itu umumnya adalah pengusaha kecil yang dianggap belum membayar pajak sesuai dengan surat ketetapan pajak yang ditentukan kantor pelayanan pajak.

Penerapan with holding system berlaku sejak adanya Keputusan Menteri Keuangan No. 1447/KNK/11/12/1975 yang menunjuk bank-bank pemerintah, Pertamina, perusahaan-perusahaan negara, serta badan-badan usaha negara yang didirikan pemerintah untuk memungut MPO (menghitung pajak orang) dan pajak penjualan untuk pembayaran yang dilakuakn kepada para pemborong, kontrak untuk pekerjaan-pekerjaan barang tidak bergerak seperti bangunan, jembatan, instalasi teknik dan sejenisnya termasuk pembayaran untuk konsultan.

Dalam UU PPn 1951 terdapat surat ketetapan pajak dengan tindakan yang disebut kohir. Kohir ini bersama surat pemberitahuan menjadi bukti pencatatan akuntansi PPn.

Oleh karena UU PPn 1951 menganut prinsip dasar kas (cash basis) dan tidak ada mekanisme kredit pajak maka akuntansi yang menyangkut UU PPn 1951 cukup sederhana. Pencatatan yang menyangkut PPn baru dilakukan pada saat PPn tersebut disetor ke kas negara.

q PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

Sebagaimana disebut di atas, menurut Due, pajak pertambahan nilai merupakan salah satu cara pengenaan atas pajak penjualan. Pajak pertambahan niolai tersebut dapat berupa pajak pertambahan nilai pabrikan, pajak pertambahan nilai grosir dan lain-lain.

Pengertian

Definisi mengenai pajak pertambahan nilai (value added tax) menurut Handbock of Internasional Financial Management adalah sebagai berikut:

“Value tax (VAT) is a consumption tax borne by final consumer. It imposed at each stage of production at a stated percentage. At each stage, the purchase of the product (manufacturer, whole saler, etc) pay the full VAT rate. When the manufacturer of wholesaler sells the product, it collects the full VAT rate but deducts the amount of the VAT paid at the time of purchase when it remits the taz to the government. Only the final purchaser, the consumer, gets no credit for VAT, previously paid, and thus bears the entire tax.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pajak pertambahan nilai adalh:

1. pajak yang dikenakan pada setiap tahapan produksi dan distribusi (multistage tax system). Dalam multistage tax system ini terdapat mekanisme kredit pajak yang berfungsi sebagai penangkal pajak berganda.

2. pajak yang menggunakan mekanisme kredit pajak.

3. Pajak atas konsumsi dan seluruhnya ditanggung pembeli terakhir.

Mekanisme Kredit Pajak

Kredit pajak diartikan pajak keluaran diperhitungkan dengan pajak masukan. Yang dimaksud pajak keluaran adalah pajak yang telah dipungut pada saat penjualan barang atau jasa. Sedangkan pajak masukan adalah yang telah dibayar pada sat pembeli barang atau jasa. Dengan demikian pajak yang dibayar pabrikan ketika membeli dari importir misalnya akan dikreditkan saat dijual ke penyalur, dan demikian seterusnya hingga pembeli terakhir yang memikul beban pajak tersebut.

Terdapat 3 jenis metode kredit pajak yang lazim digunakan untuk menghitung PPN, yaitu:

1. Calculation method, yaitu perhitungan PPN dilakukan dengan menjumlahkan seluruh pengeluaran untuk factor produksi kemudian dikalikan tarip.

2. Direct subtraction Method, yaitu perhitungan PPN berdasarkan selisih harga jual atas harga perolehan yang kemudian dikalikan tarip.

3. Indirect Subtraction Method, yaitu perhitungan PPN berdasarkan selisih pajak dari harga jual (pajak keluaran) atas pajak yang sudah dibayar saat perolehan barang tersebut (pajak masukan). Metode ini disebut juga invoice method, yaitu output tax invoice dikurangi dengan input tax invoice. Jika pajak keluaran lebih besar dari pajak masukan maka selisih tersebut disetor ke Kas Negara dan jika terjadi sebaliknya maka selisih tersebut dapat diminta kembali (restitusi) atau dikompensasikan dengan pajak keluaran masa pajak berikutnya.

q UU PPN 1984

UU No. 8 tahun 1983 mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN 1984) berlaku sejak 1 April 1985. UU PPN a984 mengalami penyempurnaan dan peningkatannya dalam pelaksanaannya, salah satunya adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1988 dan Keputusan Presiden No. 56 tahun 1988 mengenai perluasan jangkauan pengenaan PPN sampai pada bidang jasa dan tingkatan pedagang besar.

Dipandang dari cara pengenaan pajaknya, PPN 1984 termasuk golongan pajak pertambahan nilai pabrikan (manufacturer value added tax). Dan sejak berlakunya PP No. 28 tahun 1988, PPN 1984 dapat dimasukkan dalam golongan pajak pertambahan nilai grosir (wholesaler value added tax).

Ketentuan UU PPN 1984 yang berkenaan dengan tariff, penetapan saat pajak terutang dan prosedur administrasi dan akuntansinya dijelaskan di bawah ini.

Tarip

Tarif PPN 1984 diatur dalam bab IV pasal 7 dan 8. Berdasarkan UU PPN 1984, tarif PPN yang berlaku adalah sebagai berikut:

1. Tarif umum PPN yaitu 10%. Tariff pajak tersebut dapat diubah dengan paraturan pemerintah menjadi serendah-rendahnya 5% dan setinggi-tingginya 15%.

2. Tarif PPN untuk ekspor barang kena pajak adalah 0%.

3. Tarip PPN untuk barang mewah adalah tarip umum ditambah dengan tarip pajak penjualan tasa barang mewah sebesar 10%. 20% atau 30% sesuai dengan golongannya.

Dari ketentuan di atas tarip PPN 1984 menerapkan tarip tunggal (single rate/flat rate). Tarip PPN yang berlaku atas barang kena pajak (BKP) atas jasa kena pajak (JKP) diterpkan secara seragam. Hal ini memudahkan perhitungan dalam penentuan besarnya pajak yang terutang.

Dismping tarip umum PPn yaitu 10% juga terip terdapoat tarip PPnN dengan perhitungan 10/110 dari harga atau pembayaran, tarip 10/110 dari pembayaran ini digunakan jika dalam harga atau pembayaran yang diterima pengusaha kena pajak (PKP) atas penyerahan BKP atau JKP sudah termasuk PPN yang terutang. Dalam hal ini tanpa meninggalkan sifat tarip tunggal maka bagian PPN yang sudah termasuk di dalam harga tersebut harus dihitung kembali dengan pedoman hitungan yang jumlahnya sama dengan 10 bagian dari harga atau pembayaran yang diterima pengusaha kena pajak.

Jenis tarip Pajak PPN 1984 merupakan jenis tarip pajak proporsional, yaitu tarip pajak yang menggunakan suatu persentase tetap. Dalam hal ini jika dasar pengenaan pajak berubah maka besarnya pajak yang terutang juga akan berubah secara sebanding atau proporsional dengan perubahan dasar pengenaan pajak tersebut.

Penepatan Saat Pajak Terutang

Penetapan saat pajak terutang PPN 1984 diatur dalam bab V pasal 11. dalam pasala tersebut ditetapkan saat penyerahan BKP tau JKP atau saat impor BKP sebagai saat pajak terutang. Penetapan saat pajak terutang tersebut menggunakan dasar waktu (accrual basis). Jadi setiap terjadinya penyerahan BKP atau JKP meskipun dilakukan pembayaran, telah terutang PPN dan harus dipungut dari seluruh harga barang yang diserahkan. Namun apabila terjadi pembayaran di muka sebelum penerahan BKP maka saat pajak terutang adalah saat pembayaran di muka tersebut. Dengan demikian saat penyetoran atau pembayaran PPN selalu bersamaan (tidak melebihi batas waktu yang ditetapkan UU PPN 1984) atau lebih dahulu disbanding saat penerimaan pembayaran konsumen.

Penerapan dasar waktu ini dapat mempengaruhi keputusan manajemen dalam hal penjualan kredit dan perdaganan konsinyasi. Dalam melaksanakan penjualan kredit atau pembayaran konsinyasi, PKP sudah harus membayar PPN walaupun belum menerima poembayaran dari konsumen.

Aspek Administrasi dan Akuntansi

UU No. 6 Tahun 1983 mengenai ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan mengatur secara umum perpajakan di Indonesia termasuk PPN. UU tersebut menganut self assessment. Dengan demikian PPN 1984 juga menganut self assessment system yang menganut wajib pajak untuk aktif dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Dalam UU PPN 1984, penerapan self assessment system diatur dalam pasal 1 (t) dan pasal 13 mengenai pembuatan fraktur pajak. Setiap PKP wajib membuat fraktur pajak pada setiap penyerahan BKP atau JKP.

UU PPN 1984 menggunakan mekanisme kredit pajak yang menggunakan metode indirect substraction method. Dengan penggunaan mekanisme kredit pajak tersebut maka akuntansi PPN 1984 harus mencatat jumlah pajak masukan dan pajak keluaran yang terjadi serta hal-hal lain yang diperlukan, seperti penentuan selisih pajak masukan dengan pajak keluaran, perlakukan pajak masukan yang tidak boleh dikreditkan dan sebagainya.

Fraktur pajak adalah bukti pemungutan pajak yang dibuat PKP ketika terjadi penyerahan BKP atau JKP. Faktor pajak sekurang-kurangnya terdiri dua lembar. Lembar pertama diberikan kepada pembeli BKP sebagai bukti pajak masukan dan lebar kedua digunakan oleh PKP sebagai bukti pajak keluaran. Untuk kepentingan akuntansi, fraktur pajak tersebut dapat menjadi bukti pencatatan PPN.

Disamping fraktur pajak, juga terdapat Surat Pemberitahuan Masa (SPM). SPM merupakan laporan bulanan yang wajib disampaikan PKP setelah diisi dan dibayar pajaknya. SPM dibuat rangkap dua. Lembar pertama untuk Kantor pwlayanan Pajak dan Lembar kedua untuk PKP. SPM ini juga menjadi bukti pencatatan akuntansi PPN oleh PKP.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Yozar, ed. Strategi Perpajakan Mendukung Pembangunan. Jakarta: PT Bina Rena pariwara, 1990.

Boediono, B. Uraian Dasar Pajak Pertambahan Nilai, Jakarta: Gramedia, 1986.

Gunadi, Mengenal Beberapa Cara Pemajakan atas Beberapa Penyerahan Barang dan jasa. Berita Pajak, 1 mei 1990, hal. 8-13.

Kartasasmita, Hussein. Penjelasan dan Komentar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Jakarta: Yayasan Bina pajak, 1986.

Mardiasmo, Perpajakan Yogyakarta: Andi Offset, 1990.

Soemitro, Rochmat, Pajak Pertambahan Nilai, Bandung: Eresco, 1988.

Undang-Undang Perpajakan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

Tidak ada komentar: