Kamis, 17 April 2008

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DALAM PERUSAHAAN SWASTA


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada umumnya kelangsungan ikatan kerja sama antara perusahaan dengan tenaga kerja terjalin apabila kedua belah pihak masih saling membutuhkan dan saling patut dan taat akan perjanjian yang telah disepakatinya pada saat mereka mulai menjalin kerjasama antara perusahaan, dalam hal ini manajemen perusahaan, khususnya manajer tenaga kerja dengan para tenaga kerja, berarti masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Demikian pula sebaliknya apabila terjadi pemutusan hubungan kerja berarti manajer tenaga kerja dan tenaga kerja dituntut untuk memenuhi hak dan kewajiban sesuai dengan porsi dan komposisi pada saat terjadi kontrak kerja. Kontrak kerja antara manajer tenaga kerja dapat secara tertulis maupun tidak tertulis. Dapat pula ditentukan dalam jangka waktu tertentu maupun tidak ditentukan dalam tenaga kerja harus bekerja pada perusahaan.

Pemutusan hubungan kerja adalah suatu proses pelepasan keterikatan kerja sama antara perusahaan dengan tenaga kerja, baik atas permintaan tenaga kerja yang bersangkutan maupun kebijakan perusahaan yang karenanya tenaga kerja tersebut dipandang sudah tidak mampu memberikan produktivitas kerja lagi atau karena kondisi perusahaan yang tak memungkinkan.

Terdapat beberapa alasan mengapa perusahaan dengan terpaksa memutuskan hubungan kerja dengan tenaga kerja, demikian pula mengapa tenaga kerja minta berhenti bekerja dari perusahaan tersebut. Salah satu yang mendasari mengapa manajer tenaga kerja harus memutuskan hubungan kerja dengan tenaga kerja, adalah karena iklim dan kondisi perusahaan sudah tidak cocok lagi dengan tenaga kerja atau sebaliknya.

Kadang-kadang bagi tenaga kerja pemutusan hubungan kerja merupakan proses yang menyakitkan, karena selain kehilangan mata pencaharian tenaga kerja yang bersangkutan, juga merupakan titik kehampaan untuk melangkah berjuang kembali dalam rangka menghidupi diri dan keluarganya. Demikian pula bagi perusahaan, pemutusan hubungan kerja adalah merupakan proses yang memaksa dan jalan satu-satunya yang harus ditempuh dan tidak bisa kompromi lagi.

B. Rumusan Masalah

Dalam pemutusan hubungan kerja antara perusahaan dengan tenaga kerja, sebenarnya tidaklah mutlak berada pada tangan manajer perusahaan, akan tetapi harus pula mengikuti dan berpedoman pada kebijakan pemerintah, baik yang berupa peraturan pemerintah, instruksi presiden, Undang-undang dan sejenisnya serta badan-badan yang berwenang. Jadi pemutusan hubungan kerja harus ada persetujuan antara manajer perusahaan dengan pemerintah atau organisasi yang berwenang.

Pemutusan hubungan kerja yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini dikarenakan akibat resesi ekonmi, sehingga produksi maupun pelemparan hasil produksi amat sulit dipasarkan, mengakibatkan penurunan out put produksi yang ditargetkan, sehingga perlu pengurangan jumlah tenaga kerja dengan jalan menempuh pemutusan keterikatan kerja sama antara perusahaan dengan tenaga kerja.

Permasalahan yang timbul di Indonesia dengan adanya resesi ekonomi banyak sekali pemutusan hubungan kerja oleh sebagian perusahaan swasta. Pemutusan hubungan kerja banyak diprotes oleh tenaga kerja karena banyak kejanggalan yang terjadi, upah pesangon yang diberikan tidak berdasarkan ketentuan yang ada. Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran yang terjadi sekarang ini pada umumnya alasan-alasan yang dikemukakan adalah:

1. Perusahaan mengalami kerugian.

2. Pengoperan perusahaan.

3. Sulitnya pemasaran.

4. Banyaknya hutang perusahaan.

Dengan alasan-alasan itu maka pendapatan perusahaan tidak ada atau tidak mencukupi untuk membayar upah pesangon para tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja. Oleh karena itu terjadi protes yang dilakukan tenaga kerja. Dalam UU No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah jelas diterangkan mengenai berbagai masalah pemutusan hubungan kerja. Selain uang pesangon perusahaan swasta sering mengadakan pemutusan hubungan kerja tidak sesuai dengan prosedur yang ditetaokan pemerintah.

II. PEMBAHASAN MASALAH

Di dalam UU No. 12 Tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta terdapat pokok-pokok pikiran yang terkandung:

1. Pokok pangkal yang harus dipegang teguh dalam menghadapi masalah pemutusan hubungan kerja ialah bahwa sedapat mungkin pemutusan hubungan kerja harus dicegah dengan segala daya upaya bahkan dalam beberapa hal yang dilarang.

2. Karena pemecahan yang dihasilkan oleh perundingan antara pihak-pihak yang berselisih seringkali lebih dapat diterima oleh yang bersangkutan daripada penyelesaian yang dipaksakan oleh pemerintah maka dalam sistem undang-undang ini penempuhan jalan perundingan ini merupakan suatu kewajiban.

3. Bila jalan perundingan tidak berhasil / tidak tercapai untuk mendekatkan kedua belah pihak, barulah permerintah tampil ke muka dan campur tangan dalam pemutusan hubungan kerja yang hendak dilakukan oleh pengusaha. Bentuk campur tangan ini adalah pengawasan prefentif yaitu tiap-tiap pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha diperlukan izin dari instansi pemerintah.

4. Pengawasan prepentif ini diserahkan kepada Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat (P4P).

5. Dalam Undang-undang ini diadakan ketentuan-ketentuan yang bersifat formil, tentang cara memohon izin, meminta banding terhadap penolakan permohonan izin dan seterusnya.

6. Bila mana terjadi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran sebagai akibat dari tindakan pemerintah, maka pemerintah akan berusaha untuk meringankan beban kaum tenaga kerja itu dan akan diusahakan penyaluran mereka pada perusahaan / tempat kerja lain.

7. Demikian juga pemutusan hubungan kerja akibat modernisasi, otomatisasi, efesiensi yang disetujui oleh pemerintah mendapat perhatian pemerintah sepenuhnya dengan jalan mengusahakan secara aktif penyaluran tenaga kerja itu ke perusahaan lain/proyek lain.

Di dalam UU No. 12 Tahun 1964 juga mengatur prosedur pemutusan hubungan kerja sebagai berikut:

1. Pertama-tama pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.

2. Apabila setelah diadakan segala usaha dimana pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, maka pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi pekerja yang bersangkutan / yang ada di perusahaan tersebut atau dengan karyawan/ tenaga kerja sendiri dalam hal tenaga kerja tersebut tidak menjadi anggota dari salah satu organisasi pekerja.

3. Bila perundingan tersebut nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan tenaga kerja setelah memperoleh izin dari P4D bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan dan P4P bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

4. P4D dan P4P menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

5. Dalam hal P4D atau P4P memberikan izin, maka dapat diterapkan pula kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada tenaga kerja/ karyawan yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa dan ganti rugi lainnya.

6. Terhadap penolakan pemberian izin oleh P4D atau pemberian izin dengan syarat, dalam waktu 14 hari setelah putusan diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik tenaga kerja maupun pengusaha atau organisasi tenaga kerja dan organisasi pengusaha yang bersangkutan dapat minta banding kepada P4P.

7. P4P menyelesaikan permohonan banding menurut tata cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam tingkat banding.

Di dalam pemutusan hubungan kerja terdapat 2 hal yang dilarang, yaitu:

1. Selama tenaga kerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu 12 hari (dua belas) bulan terus-menerus.

2. Selama tenaga kerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewakiban terhadap negara yang ditetapkan oleh undang-undang atau pemerintah atau karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya dan yang disetujui pemerintah.

Apabila manajemen setelah mengusahakan agar pemutusan hubungan kerja tersebut tidak terjadi, kemudian usaha tersebut untuk menghasilkan sesuatu hal, dengan kata lain pemutusan hubungan kerja tersebut dengan serikat tenaga kerja, atau dengan hubungan kerja yang bersangkutan, apabila tenaga kerja tersebut tidak menjadi anggota salah satu anggota serikat tenaga kerja. Biasanya dengan mengadakan perundingan, hasilnya lebih memuaskan kedua belah pihak daripada pemutusan hubungan kerja yang dilakukan secara sepihak. Di samping itu tidak mustahil organisasi ketenagakerjaan yang bersangkutan memberikan jalan keluar kepada manajemen, sehingga pemutusan hubungan kerja tidak perlu dilakukan. Bila dalam suatu perusahaan, seorang tenaga kerja tidak menjadi anggota organisasi ketenagakerjaan, maka perundingan harus dilakukan oleh manajemen dengan tenaga kerja yang bersangkutan, sehingga dengan demikian, apabila di suatu perusahaan tidak terdapat organisasi ketenagakerjaan, maka manajemen tidak lepas dari kewajibannya mengadakan kompromi.

Apabila kompromi tersebut tidak mencapai suatu hasil maka pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari P4D untuk pemutusan hubungan kerja perorangan dari P4P untuk pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran. Perlu diingat bahwa yang diwajibkan minta izin adalah manajemen perusahaan, dengan demikian apabila tenaga kerja ingin memutuskan hubungan kerja, mereka tidak perlu minta izin ke P4D maupun P4P. Sebaliknya apabila antara manajemen dengan tenaga kerja ada persesuaian pendapat tentang pemutusan hubungan kerja setelah diadakan perundingan, maka izin tersebut masih berlaku. Jadi walaupun kedua belah pihak sudah menyetujui adanya pemutusan hubungan kerja, izin dari P4D maupun P4P tetap diperlukan.

Pemutusan hubungan kerja tenaga kerja dengan perusahaan harus berpedoman, memperhatikan dan merealisasikan pedoman normative yang telah ditetapkan, baik dalam perundang-undangan yang berlaku maupun ketentuan-ketentuan P4P, terutama yang berhubungan dengan dasar hokum pemutusan hubungan kerja dan tanggung jawab moral perusahaan terhadap tenaga kerja yang diberhentikan.

Dalam pemutusan hubungan kerja sedapat mungkin tenaga kerja yang bersangkutan harus diberikan uang pesangon dan uang jasa mengingat jasa tenaga kerja tersebut kepada perusahaan. Pada pemutusan hubungan kerja karena keinginan tenaga kerja yang bersangkutan, persoalan memberikan pesangon dan uang jasa tidak merupakan beban perusahaan. Namun harus ditekankan bahwa pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan haruslah dengan itikad baik, tidak merugikan tenaga kerja yang bersangkutan. Hal ini sesuai bahwa tenaga kerja merupakan salah satu factor produksi bukan out put.

Ketentuan-ketentuan uang pesangon dan uang jasa:

1. besarnya uang pesangon ditetapkan sekurang-kurangnya.

a. masa kerja kurang dari 1 tahun 1 bulan upah.

b. masa kerja 1 tahun atau kurang dari 2 tahun 2 bulan upah.

c. masa kerja 2 tahun atau kurang dari 3 tahun 3 bulan upah.

d. masa kerja 3 tahun atau lebih 4 bulan upah.

2. besarnya uang jasa ditetapkan sekurang-kurangnya

a. masa kerja 5 tahun atau kurang dari 10 tahun 1 bulan upah

b. masa kerja 10 tahun atau kurang dari 15 tahun 2 bulan upah

c. masa kerja 15 tahun atau kurang dari 20 tahun 3 bulan upah

d. masa kerja 20 tahun atau kurang dari 25 tahun 4 bulan upah

e. masa kerja 25 tahun atau lebih 5 bulan upah

Alasan-alasan yang dapat membenarkan suatu pemberhentian/ pemutusan dapat digolongkan dalam 3 golongan yaitu :

1. alasan-alasan yang berhubungan atau yang melekat pada pribadi buruk, misalnya tidak cakap dan tidak mampu secara badaniah maupun rohaniah, tidak ada keahlian, tidak mampu menerima latihan yang diperlukan bagi pekerjaannya dan keadaan sakit tertentu.

2. alasan-alasan yang berhubungan dengan tingkah laku buruh, misalnya tidak memenuhi kewajibannya tidak dapat dipercaya, melanggar disiplin, acuh tak acuh dan sebagainya.

3. alasan-alasan yang berkenaan dengan jalan perusahaan, artinya demi kelangsungan jalannya perusahaan, misalnya tidak adanya pesanan atau bahan baku menurunnya hasil produksi.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peraturan tenaga kerja terutama UU No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah ideal dilihat dari segi isi mengenai prosedur pemutusan hubungan kerja dan permasalahan uang pesangon, terlihat disini kebijakan pemerintah sangat mementingkan tenaga kerja.

Tetapi jika dilihat dari kenyataan UU tersebut tidak direalisasikan dengan baik, terbukti masih ada penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh perusahaan swasta. Masalah yang sering terjadi pada pemutusan hubungan kerja adalah permasalahan uang pesangon.

B. Saran

Sikap pemerintah seharusnya lebih tegas kepada perusahaan swasta yang melanggar ketentuan, dengan memberikan sanksi. Para tenaga kerja harus lebih aktif dalam menghadapi permasalahan pemutusan hubungan kerja ini agar kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh perusahaan terungkap. Perusahaan seharusnya sadar dengan tidak mementingkan kepentingan perusahaan saja tetapi juga mengutamakan kepentingan tenaga kerja.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Drs. Bejo Siswanto, Manajemen Tenaga Kerja, Sinar Baru. Bandung, 1987.

Prof. Imam Soepomo, SH., Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja. Djambatan, Cetakan Ketiga. Jakarta, 1979.

Sendjun H. Manulang, SH., Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.

UU No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.

Tidak ada komentar: