Kamis, 17 April 2008

HUKUM KETENAGAKERJAAN


I. PENDAHULUAN

Sebagian penduduk Indonesia bekerja menajdi Pekerja di suatu perusahan atau pabrik. Hal ini dikarenakan rata-rata penduduk Indonesia berpendidikan hanya sampai sekolah menengah saja. Oleh sebab itu mereka kebanyakan memilih pekerjaan di perusahaan atau pabrik-pabrik baik itu yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri. Dala suatu pekrjaan seringkali terjadi suatu perselisihan antara majikan atau pengusaha dengan pekerja. Hal ini terjadi sejak zaman dahulu dimana pada zaman dahulu sudah terjadi perbudakan, rodi dan peonale sanksi. Terjadi perbudakan pada zaman dahulu disebabkan para raja, pengusaha yang mempunyai ekonomimkuat membutuhkan orang yang dapat mengabdi kepadanya, sementara penduduk miskin yang tidak berkemampuan secara ekonomis saat itu cukup banyak yang disebabkan karena rendahnya kualitas sumber daya manusia, sehingga tidak mengherankan perbudakan tumbuh subur. Sehingga perbudakan ini adalah suatu bentuk pengerahan tenaga kerja yang tidak menusiawi. Selain perbudakan juga terdapat istilah penghambaan atau peruluran.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa riwayat timbulnya hubungan perburuhan itu dimulai dari peristiwa pajit yakni penindasan dan perlakuan di luar batas kemanusiaan yang dilakukan oleh orang maupun penguasa pada saat itu. Para budak/pekerja tidak diberikan hak apapun yang ia miliki hanyalah kewajiban untuk mentaati perintah dari majikan atau tuannya. Nasib para budak/pekerja hanya dijadikan barang atau objek yang kehilangan hak kodratinya sebagai manusia. Tetapi pada saat ini perbudakan dilarang oleh pemerintah karena perbudakan merupakan tindakan yang tidak manusiawi, sehingga permasalahan antara majkan atau pengusaha dengan pekerja/buruh sudah lainlagi. Pada saat ini perselisihan yang sering terjadi antara pengusaha dengan pekerja adalah karena faktor ketidakadilan seperti dalam hal pengupahan, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), keselamatan kerja, dan lain-lain. Perselisihan perburuhan sesuai dengan Pasal 1 (1) UU No. 22 tahun 1957 meliputi :

1. Dari Pihak Majikan

Pihak majikan menolak buruh-buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan sebagian akibat perselisihan Perburuhan, dilakukan dengan maksud untuk menekan atau membantu majikan lainnya menekan supaya buruh menerima hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan.

2. Dari Pihak Buruh

Pihak buruh secara kolektif menghentikan atau memperlambat jalannya pekerjaan sebagai akibat Perselisihan Perburuhan, dialkukan dengan maksud menekan atau membantu golongan buruh lain menekan supaya majikan menerima hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadan perburuhan.

Dengan adanya perselisihan antara pengusaha dengan pekerja ini seringkali karena ketidaktahuan pekerja tentang hokum maka pekerja banyak yang dikalahkan. Masalah yang sering terjadi akibat pekerja kalah adalah :

- Pekerja tidak tahu cara mengajukan perselisihan perburuhan.

- Pekerja takut melaporkan peristiwa tersebut kepada penegak hokum karena adanya ancaman dari pihak pengusaha.

II. PEMBAHASAN

Dalam hubungan ketenagakerjaan ternyata banyak terjadi perselisihan antara pengusaha dengan pekerja. Masalah yang sering terjadi dalam Perselisihan itu sehingga pekerja dikalahkan adalah ketidaktahuan pekerja untuk mengajukan Perselisihan Perburuhan. Hal ini harus segera diatasi. Pekerja sebelum bekerja harus diberi suatu pendidikan tentang hak-hak dan kewajiban pekerja sehingga nantinya pekerja apabila diperlakukan tidak sesuai dengan pekerjaannya maka pekerja dapat mengajukan tuntutan.

Di dalam Peraturan Perburuhan/Ketenagakerjaan tidak mengatur “Hukum Acara” tentang tata cara mengajukan hak dalam hal timbul Perselisihan Perburuhan. Oleh karena itu harus dilihaqt pelaksanaannya di dalam praktek. Untuk itu terlebih dahulu perlu dipahami tentang tuntutan hak-hak normative Buruh, seperti : Uang pesangon, Uang Jasa, Uang Lembur, Uang Cuti. Tuntutannya biasanya diajukan kepada Kepala Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat. Biasanya ditangani oleh Seksi Syarat-syarat dan Hubungan Kerja.

Di sisi lain pelanggaran normative Peraturan Perburuhan oleh penguasa/majikan, pengaduannya juga disampaikan ke Kakandepnaker setempat, akan tetapi biasanya ditangani oleh Seksi Pengawas Ketenagakerjaan. Jadi disini sifatnya adalah pidana, dan penyelidiknya adalah Pejabat Penyidik Pegawai negeri sipil (PPNS) tertentu dari Departemen Tenaga Kerja. Dalam hal ini Seksi Pengawas ketenagakerjaan. Surat tuntutan ini dapat diantarkan langsung ataupun dikirimkan melalui pos. Biasanya beberapa haris etelah penyampaian tuntutan itu, pihak Depnaker memanggil Buruh dan Majikan untuk bemusyawarah menyelesaikan sengkketa mereka secara Biparteit.

Tata cara penyelesaian perburuhan.

1. Biparteit sistem

Biparteit sistem adalah upaya damai antara Buruh dengan Majikan (pengusaha) atau anjuran Departemen Tenaga Kerja. Fungsi Depnaker dalam hal ini hanyalah sebagai perantara saja. Biasanya Depnaker minta bukti-bukti baik dari Buruh maupun Majikan. Apabila Buruh dan majikan tidak mencapai perdamaian, maka Depnaker mengambil keputusan yang isinya bersifat anjuran, dan karenanya tidak mengikat. Ini terdapat di dalam pasal 2 UU No. 22/1957.

Akan tetapi pihak-pihak yang berselisih tidak dapat menyelesaikan persoalannya itu sendiri dan tidak berkehendak untuk menyelesaikannya dengan Arbitrase oleh juri ( Dewan Pemisah), maka hal itu oleh para pihak atau oleh salah satu pihak diberitahukan secara tertulis kepada pegawai. Pemberitahuan ini bermakna permintaan kepada pegawai tersebut untuk memberikan perantaraan guna mencari penyelesaian. Dalam keadaan demikian perantaraan mana harus diberikan Departemen Tenaga Kerja (pasal 3 ayat 2 UU No. 22/1957).

Setelah menerima pemberitahuan tersebut Pegawai Depnaker mengadakan penyelidikan tentang duduknya Perkara Preselisihan dan sebab-sebabnya, selambat-lambatnya 7 hari terhitung mulai tanggal Penerimaan Surat Pemberitahuan tersebut. Dalam hal pegawai Depnaker berpendapat, bahwa perselisihan itu tidak dapat diselesaikan dengan perantaraan olehnya, maka penanganannya diserahkan kepada Paniti Daerah, dan memberitahukan hal itu kepada pihak-pihak yang bersangkutan (pasal 4 ayat 2 UU No. 22/1957).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyampaian Perselisihan Perburuhan ke P4D dapat dilakukan oleh para pihak atau oleh salah satu pihak setelah ipaya damai tidak berhasil dan dapat juga oleh Pegawai Depnaker. Untuk itu Pegawai Depnaker dapat menilai apakah ia mampu menyelesaikannya sebagai penengah untuk menyelesaikannya. Apakah menurut penilaiannya ia tidak mampu maka segera dapat dilimpahkan.

2. Triperteit sistem

Triparteit Sistem adalah upaya damai yang diprakarsai oleh Depnaker dengan para pihaknya adalah : majikan, Organisasi Buruh (SPSI) dan Depnaker sendiri. Triparteit system ini dilakukan oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan daerah (P4D).

Apabila dalam suatu perselisihan satu pihak hendak melakukan tindakan terhadap pihak lain maka maksud tersebut harus diberitahukan secara tertulis kepada pihak lainnya dan kepada Ketua Panitia Daerah. Dalam surat tersebut harus diterangkan bahwa benar-benar telah diadakan perundingan yang mendalam mengenai pokok-pokok perselisihan antar buruh dan majikan yang dikuasai/diperantarai oleh pegawai atau permintaan untuk berunding telah ditolak oleh pihak lainnya atau dalam jangka waktu 2 minggu tidak berhasil mengajak pihak lainnya untuk berunding mengenai hal-hal yang menyangkut perselisihan. Ketua Panitia Daerah selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari setelah menrima surat pemberitahuan tersebut harus membuat surat pemberitahuan.

P4D juga sebagai perantara untuk menyelesaikan perselisihan secara damai. Selain itu P4D juga berhak memberikan putusan yang bersifat mengikat bilamana upaya damai tidak berhasil. Putusan P4D yang bersifat mengikat dapat mulai dilaksanakan /eksekusi setelah lewat waktu 14 hari putusan itu diambil. Dan terhadapnya tidak dimintakan pemeriksaan ulang kepada P4d. Untuk mmengeksekusi putusan tersebut, maka pihak yang bersangkutan (menang) dapat memintakan pelaksanaannya kepada Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan terhadap siapa putusan itu akan dijalankan, supaya putusan itu dapat dijalankan.

3. Arbitrase

Arbitrase adalah Peradilan Wasit, peradilan yang akan memberikan keputusan mengenai persengketaan antara pihak-pihak yang bersengketa tanpa melalui pengadilan. Persetujuan untuk itu harus tertulis. Menurut Pasal 19 UU No. 22/1957 bahwa majikan dan (serikat) buruh yang terlibat dalam perselisihan Perburuhan atas kehendak mereka sendiri atau atas anjuran dari pegawai atau panitia Daerah yang memberikan perantara dapat menyerahkan perselisihan mereka untuk diselesaikan oleh juru pemisah atau dewan pemisah.

Untuk mengeksekusi suatu putusan Arbitrase yang telah disahkan oleh P4P maka terlebih dahulu dimintakan bahwa putusan itu dapat dijalankan (Flat) sesudah adanya Flat tersebut, barulah putusan itu dilaksanakan (eksekusi).

BANDING KE P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat)

P4P adalah suatu lembaga untuk melakukan pemeriksaan ulangan terhadap putusan P4D. adapun putusan P4D yang dapat dimintakan Pemeriksaan Ulangan kepada P4P adalah putusan P4D yang bersifat mengikat, kecuali bila putusan itu mengenai soal khusus bersifat lokal yang ditentukan oleh P4P. tenggang waktu mengajukan permohonan itu adalah 14 hari terhitung sejak putusan itu diambil.

Dalam hal suatu perselisihan perburuhan yang sedang diatangani oleh P4D dapat membahayakan kepentingan negara atau kepentingan umum, maka P4D dapat membahayakan kepentingan negara atau kepentingan umum, maka P4P dapat menariknya dari tangan P4D. Penarikan itu diberitahukan kepada Pegawai/ P4D serta pihak yang berselisih.

Putusan segera diberitahukan kepada kedua belah pihak yang berselisih dengan surat tercatat atau dengan Perantaraan Pegawai Kepaniteraan P4P. Untuk dapat melaksanakan putusan P4P, maka terlebih dahulu pihak yang bersangkutan (yang diuntungkan) meminta kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, supaya putusan itu dinyatakan dapat dijalankan (Flat executive). Setelah Flat executive keluar dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, barulah putusan itu dapat dijalankan (executive) menurut aturan yang biasa untuk menjalankan suatu putusan perdata.

PUTUSAN MENTERI / VETO

Terhadap Veto Menteri tidak ada upaya hokum lagi, oleh karenanya apabila Veto Menteri telah keluar, maka putusan itu otomatis dapat dilaksanakan. Alasan untuk mengajukan Veto Menteri diatur secara limitative, yakni apabila pelaksanaan keputusan P4P dapat mengganggu ketertiban umum atau melingdungi kepentingan negera.

III. PENUTUP

Dari uraian tersebut di atas dapat kita simpulkan bahwa perselisihan antara buruh dengan pengusaha dapat diselesaikan melalui jalan damai dengan Jalan Perundingan. Persetujuan yang dicapai melalui perundingan itu dapat disusun menjadi perjanjian perburuhan menurut ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang Perjanjian Perburuhan. Jika dalam perundingan itu oleh pihak-pihak yang berselisih sendiri tidak dapat diperoleh penyelesaian maka ada 2 alternatif yang dapat ditempuh:

1. Menyerahkan perselisihan itu secara sukarela pada seorang juru atau dewan pemisah.

2. Menyerahkan perselisihan itu kepada pegawai Perantara Depnaker.

Dengan adanya campur tangan dari Pemerintah dalam bidang Perburuhan melalui berbagai peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hokum terhadap hak dan kewajiban pengusaha maupun pekerja/buruh. Dan diharapkan di dalam hubungan kerja antara pengusaha dengan buruh akan tercipta hubungan kerja yang kondusif yang merupakan prasyarat keberhasilan suatu usaha.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Lalu Husni, SH., M.Hum, Pengantar Hukum Ketengakerjaan Indonesia.

Darwan Prinst, SH., Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.

Sendjun H. Manulang, SH., Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia.

Tidak ada komentar: