I. PENDAHULUAN
Tax treaty memiliki beberapa terminologi maupun pengertian. Namun dalam makalah ini akan digunakan istilah tax treaty yang artinya adalah perjanjian perpajakan bilateral yang mengatur pembagian hak penolakan dari masing-masing begara dengan maksud untuk mencegah timbulnya pengenaan pajak berganda. Dalam praktiknya, penghindaran pajak berganda dapat dilakukan dengan cara membatasi wewenang pemajakan dari negara sumber atas penghasilan yang timbul dari wilayah yuridiksinya.
Dalam tax treaty, ruang lungkup hak perpajakan dari negara sumber dapat dikelompokkan menajdi 3 kategori, yaitu:
1. Pelepasan hak pemajakan (relinquished taxing rights)
Maksudnya adalah dianulirnya hak pemajakan dari negara sumber atas jenis-jenis penghasilan usaha yang timbul dari wilayah juridiksinya karena penghasilan itu akan dikenakan pajak sepenuhnya di negara domisili.
2. Hak pemajakan penuh (exclusively taxing rights)
Maksudnya adalah hak pemajakan yang dimiliki oleh suatu negara sumber sesuai dengan ketentuan perundangan domestiknya.
3. Hak pemajakan yang terbatas (limited taxing rights)
Maksudnya adalah jenis-jenis penghasilan tertentu. Negara sumber memiliki hak pemajakan tetapi tidak boleh melebihi tariff tertentu yang diatur dalam tax treaty, dan berlaku pada penghasilan positif (positive income).
Sehubungan dengan seminar On International Treaties on the Advoidance of Double di Ho-Chi-Mink City (Vietnam) pada tanggal 16 s.d. 14 Oktober 2001 maka disusun sebuah makalah yang berjudul “Kebijakan Tax Treaty Indonesia Sekarang dan di Masa Akan dating”. Makalah ini membahas mengenai pengaruh perkembangan teknologi dan dinamika dunia usaha tersebut terhadap kebijakan tax treaty
II. PEMBAHASAN
Kebijakan tax treaty Indonesia
Pada umumnya, kebijakan tax treaty akan merujuk pada salah satu dari 2 (dua) model yang lazim dijadikan acuan, yaitu model OECD atau model United nations. Model OECD dijadikan acuan/kerangka dasar (frame work) begi kelompok negara-negara maju. Sebaliknya model United Nations merupakan acuan bagi kelompok negara-negera berkembang.
Berhubung di Indonesia adalah salah satu dari negara berkembang maka model United Nations menjadi acuannya. Selain itu, kebijakan tax treaty di
Pembuatan suatu tax treaty memerlukan suatu proses mulai dari persiapan perundingan misalnya penentuan tanggal dan tempat perundingan pertukaran proposal dan pelanggaran perundingan. Pada kahir perundingan akan dilakukan draft yang disepakati oleh ketua delegasi dari masing-masingnegara untuk kemudian diteruskan kepada pemerintah. Setelah itu, penandatanganan draft dilakukan olerh Menlu / Kedutaan besar dari kedua negara dan disampaikan kepada negaranya masing-masing maka dilakukan pertukaran draft yang telah disahkan itu dan draft tax treaty dimaksud mulai berlaku efektif pada awal tahun berikutnya.
Salah satu tahapan yang sangat pentinga dalam proses pembuatamn tax treaty adalah pada proses negosiasi yang meliputi seluruh pasal dalam tax treaty. Shubungan dengan pasal-pasal yang dinegosiasi bebrapa hal yang prinsip bagi
(a) Ketentuan mengenai Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang mencakup pengertian sutau BUT. Pengertian BUT meliputi penerapan konsep team apabila jasa-jasa dilakukan di
(b) Ketentuan mengenai Branch Profit Tax (BPT) yaitu tambahan pajak atas laba bersih setelah pajak terhadap suatu BUT.
(c) Pengecualian penerapan ketentuan BPT atas kontrak production sharing dengan tujuan untuk melindungi kepentingan penerimaan negara di sektor minyak dan gas bumi.
(d) Penerapan konsep time test di dalam menentukan hak pemajakan negara sumber atas penghasilan yang diperoleh/diterima orang pribadi dari pekerjaan bebas (Independent personal services).
Tantangn di Masa yang Akan Datang
Dalam menjalani era globalisasi,
a. Dalam era globalisasi arus barang, jasa, dan modal akan masuk maupun keluar dari suatu negara tanpa hambatan (cross border transaction).
b. Semangat globalisasi ini mendorong timbulnya perusahaan yang berskala dunia (multinational companies) yang memiliki jaringan yang menggurita.
c. Kemajuan teknologi terjadi dengan sangat pesat khususnya di bidang informasi misalnya internet.
d. Mulai munculnya banyak negara-negara surga pajak (tax haven countries) yang memberikan berbagai fasilitas. Mulai dari tarif pajak yang murah dan bahkan ada yang membebaskan, infrastruktur keuangan yang canggih.
e. Orientasi perusahaan pada profit dan dengan didukung oleh kemajuan teknologi yang canggih, maka akan memudahkan perusahaan global melakukan realokasi profitnya pada negara-negara yang menawarkan pajak dengan tarif yang rendah/bahkan memberikan pembebasan pajak.
Perkembangan di atas membawa implikasi terhadap kepentingan perpajakan
III. PENUTUP
Menyadari bahwa perkembangan dunia begitu pesat, kebijakan tax treaty
(a) Berhubungan akan semakin banyak timbul masalah klasik di bidang perpajakan internasional maka Indonesia perlu memperluas jaringan tax treaty, agar Indonesia dapat melakukan kerjasama internasional untuk memerangi dan mencari solusi yang terbaik atas permasalahannya.
(b) Perkembangan dunia usaha yang sangat dinamis dan munculnya permasalahan perpajakan internasional yang sebelumnya tidak diperkirakan maka seyogyanya melakukan negosiasi tax treaty sesuai dengan aturan yang berlaku.
(c) Dalam menghadapi era globalisasi
(d)
(e) Untuk mengamankan kepentingan pemajakan
(f) Dalam mengantisipasi diberlakukannya WTO Agreement dan penerapan sanksi terhadap negar-negara yang melakukan gainful tax competition, tax treaty merupakan salah satu bentuk fasilitas yang menarik dan tidak bertentangan dengan semangat globalisasi.
IV. DAFTAR PUSTAKA
- Vogel, Klaus, 1990. Klaus Vogel on Double Taxation Conventions, 2nd edition, Kluwer Law and Taxation Publisher.
-
- Hutagaol, John, 2000. Pemahaman Praktis perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar