Kamis, 17 April 2008

ASPEK HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA

I. PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Anak dan remaja sebagai sumber daya pembangunan untuk masa yang akan datang, perhatian utama harus diberikan kepada upaya untuk mempersiapkan dan meningkatkan kualitas mereka, dimana pada gilirannya nanti benar-benar memperoleh kesempatan untuk berperan serta dalam upaya pembangunan.

Dalam upaya untuk meningkatkan hal tersebut di atas yang terpenting adalah meningkatkan usaha pendidikan dan kesehatan. Kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh tingkat pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan baik formal atau informal dan keadaan kesehatan mereka yang bersangkutan. Masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan dan kesehatan yang prima akan membentuk sumber daya manusia yang produktif.

Usaha pembangunan sumber daya manusia harus diarahkan pada kebutuhan pembangunan yang sedang dan akan kita laksanakan. Dengan demikian ada hubungan timbal balik antara pembangunan kesempatan kerja di satu pihak dengan penyediaan tenaga kerja di tempat lain. Jadi sumber daya manusia selain akan mampu mengisi lapangan kerja yang tersedia, yang lebih penting lagi mereka sanggup menciptakan dan memperluas kesempatan kerja yang sudah ada.

Angkatan tenaga kerja Indonesia yang memasuki pasaran tenaga kerja pada umumnya mereka berpendidikan sekolah dasar (SD). Walaupun dari tenaga kerja itu banyak yang berpendidikan formal, lulusan SMP maupun lulusan SMA, tetapi pada umumnya mereka tidak memiliki kualifikasi yang diisyaratkan oleh kesempatan kerja yang ada, tidak berbekal ketrampilan kerja yang dibutuhkan dunia usaha. Di samping itu tidak dapat disangkal banyak perusahaan yang lebih suka mempekerjakan tenaga kerja anak-anak di bawah usia 14 tahun. Pada umumnya pabrik-pabrik dan industri rumah tangga yang berlokasi di pedesaan lebih suka mempekerjakan tenaga kerja anak-anak, ketimbang pekerja dewasa. Sebab bagi tenaga kerja anak-anak tidak pernah mempersoalkan berapa upah yang akan mereka terima, yang jelas jauh di bawah upah tenaga kerja pada umumnya.

Meskipun sudah ada peraturan perundang-undangan yang membatasi dan memberikan perlindungan terhadap pekerja anak-anak, pada kenyataan di lapangan masih banyak penyimpangan dan pelanggaran yang sangat memperhatikan. Dimana ada perusahaan yang tidak mempedulikan keselamatan dan kesejahteraan karyawannya terutama pekerja anak-anak. Pihak pengusaha tidak mau melihat jauh ke depan, jangkauan mereka dalam jangka pendek mendapatkan keuntungan yang sebesar-besanya. Sikap yang demikian tidak akan mampu membawa kemajuan pada perusahaan, apalagi dalam menghadapi persaingan berat. Dunia usaha akan berkembang jika pimpinan perusahaan memberi perhatian yang seimbang terhadap seluruh sumber daya yang dimiliki terutama sumber daya manusia atau pekerja.

PERMASALAHAN

Larangan Terhadap Tenga Kerja Anak

Berdasarkan Undang-Undang kerja tahun 1948 No. 12 yang dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1951, yang dimaksudkan dengan anak adalah orang laki-laki atau perempuan yang berusia 14 tahun ke bawah. Penetapan batas umur ini berhubungan dengan larangan pekerjaan anak.

Dipandang dari sudut pendidikaan, anak harus masih mengikuti pendidikan di sekolah demi masa depannya. Dalam penetapan batas umur dan larangan pekerjaan anak didasarkan pada pertimbangan bahwa anak harus berpendidikan sekolah rendah dengan ditambah sekolah menengah selama 3 tahun (sekarang wajib belajar 9 tahun).

Batas umur 14 tahun tersebut ialah sama dengan yang ditetapkan dalam konvensi Internasional. Dalam Undang-undang pemerintah Hindia Belanda dulu mengambil batas umur 12 tahun untuk larangan pekerjaan anak, yang oleh pemerintah federal pada tahun 1949 batas ini diubah menjadi 14 tahun dengan Stbl. 1949 No. 8.

Selain pandangan dari pendidikan larangan pekerjaan anak didasarkan atas maksud untuk menjaga kesehatannya, karena secara fisik anak masih lemah untuk menjalankan pekerjaannya apalagi pekerjaan berat. Pekerjaan yang ringan pun akan memberi dampak merugikan bagi tumbuh kembangnya anak yang bersangkutan, baik fisik maupun mental kecerdasannya.

Namun bukan berarti tidak ada sama sekali larangan pekerjaan bagi anak-anak, karena berdasarkan Ordonansi tanggal 17 Desember 1945 (Stbl. No. 647 tahun 1947) diperoleh pengertian larangan pekerjaan anak hanya berlaku pada pekerjaan tertentu, artinya di luar itu anak tidak dilarang untuk melakukan pekerjaan. Demikian juga apabila anak tersebut melakukan pekerjaan di kapal di bawah pengawasan ayah atau keluarga sampai derajat ke tiga tidak dilarang (Stbl. No. 87 tahun 1926).

Yang menjadi permasalahan sekarang adalah bahwa masih banyak dijumpai perusahaan-perusahaan yang ternyata mempekerjakan anak di bawah umur 14 tahun tetapi tidak memenuhi ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain anak-anak yang melakukan pekerjaan tidak mendapat uaph karena dianggap membantu orang tuanya, tidak memenuhi ketentuan keselamatan kerja.

Perlu dipahami bahwa semua ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan adalah mengatur pekerjaan-pekerjaan dalam hubungan kerja. Artinya setiap orang yang bekerja di perusahaan atau badan-badan usaha yang berbadan hukum adalah mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha, atau pengurus atau pemimpinnya yang terkait dengan penerimaan upah, waktu kerja atau waktu istirahat, keselamatan kerja, jaminan sosial dan sebagainya, yang menjadi hak-hak pekerja dan kewajiban pengusaha atau pengurus perusahaan untuk memenuhinya.

II. PEMBAHASAN

Upaya pemeliharaan, pengasuhan dan perlindungan merupakan suatu hak yang paling asasi yang harus diterima oleh setiap anak tanpa terkecuali. Anak-anak mempunyai hak yang tidak dicabut oleh siapapun, untuk bertumbuh di dalam lingkungan yang sehat, tanpa ada orang yang menindas mereka atau memeras tenaganya, demikian pengumuman dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU-PBB) setelah menyepakati Konvensi Internasional mengenai hak-hak anak.

Konvensi ini merupakan pengembangan dari demokrasi tentang hak-hak anak yang juga dikeluarkan oleh PBB pada tanggal 20 November 1959. Deklarasi ini menegaskan : “… setiap anak memperoleh hak untuk memperoleh perlindungan khusus, kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka untuk berkembang secara sehat dan wajar …”

Akan tetapi kenyataan yang sering kita jumpai justru jauh berbeda dari cita-cita mulia yang telah dicanangkan dalam deklarasi tersebut. Haal ini jelas sungguh ironis, sebab sebagian besar yang membuat anak mengalami penderitaan tersebut justru dilakukan oleh orang-orang yang harus bertanggung jawab atas kesejahteraan anak yaitu mereka sendiri. Perbuatan penyalahgunaan anak tersebut beraneka ragam bentuknya, antara lain memperkerjakan anak dibawah ussia kerja, mengajak anak turut dalam pabrik.

Perbuatan tersebut jelas tidak mendukung upaya perlindungan bagi anak, sehingga jasmani, sosial dan mental anak tidak berkembang secara wajar, karena perlindungan anak pada hakekatnya mencakup tiga aspek penting yaitu hak anak, tanggung jawab orang tua dan usaha untuk memenuhi kebutuhan anak.

Pengalaman dalam masyarakat, ketika seseorang mulai menerima nilai-nilai dan keterampilan yang diberikan oleh orang tua khususnya dan masyarakat pada umumnya, merupakan suatu dasar baginya dalam bertingkah laku untuk menjadi orang dewasa merupakan follow up atas sosialisasi yang diterimanya sejak masa kanak-kanak. Pada masa kanak-kanak orang tua memberi petunjuk dan menuangkan kebiasaan cara bekerja dan cara bertindak sesuai aturan-aturan yang berlaku dan yang dipegang teguh di lingkungan tempat mereka tinggal. Hubungan antara orang tua dan anak dalam keluarga menduduki tempat utama dalam mempengaruhi perkembangan anak.

III. PENUTUP

Kesimpulan

Dengan pekerjaan anak ini dimaksudkan pekerjaan dilakukan oleh anak yang melampaui kekuatannya dan menghalangi pertumbuhan badaniah dan rohaniah. Pekerjaan anak ini merugikan anak dan dapat mencegah ia menjadi orang dewasa biasa. Karena itu pekerjaan anak semacam ini harus ditolak baik dengan alasan perikemanusiaan maupun dengan alasan tidak menguntungkan. Walaupun lebih murah dari pekerjaan orang dewasa, pekerjaan anak adalah kurang efisien dan merupakan penyia-nyiaan tenaga manusia dan keuangan.

Didalam Undang-undang No. 1 Tahun 1951 telah dijelaskan secara tegas bahwa “anak-anak tidak boleh menjalankan pekerjaan. Jikalau seorang anak yang berumur 6 tahun atau lebih terdapat dalam ruangan yang tertutup dimana sedang dijalankan pekerjaan, maka dianggap bahwa anak itu menjalankan pekerjaan di tempat itu kecuali yang ternyata sebaliknya”. Akan tetapi ketentuan Undang-undang No. 1 tahun 1951 (pasal 2 dan 3) ini hingga sekarang masih belum berlaku, sehingga berarti bahwa larangan pekrjaan bagi anak berdasarkan Undang-undang ini tidak ada (tenaga kerja anak diperbolehkan).

Untuk itu bagi anak yang terpaksa bekerja harus mendapatkan perlindungan, sehingga bagi setiap pengusaha yang memperkerjakan anak dibaaawah umur 14 tahun, diwajibkan untuk melaporkan kepada Departemen tenaga Kerja, serta harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

- Anak tidak boleh bekerja lebih dari 4 jam.

- Upah harus sesuai dengan upah minimum.

- Anak harus diberi waktu bermain.

Dan yang menjadi permasalahan sekarang adalah bahwa masih ada perusahaan-perusahaan yang memperkejakan anak-anak dibawah umur 14 tahun tetapi tidak memenuhi ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain anak-anak yang melakukan pekerjaan tidak mendapatkan upah karena dianggap membantu orang tuanya, sehingga tidak memenuhi keselamatan kerja.

IV. DAFTAR PUSTAKA

- Prof. Imam Soepomo, SH., Hukum Perburuhan. Jakarta. 1986.

- M. Budiyarto, SH., Laporan Penelitian Tentang Aspek Hukum Tindak Kekerasan Terhadap Tenaga Kerja Anak, Departemen Kehakiman RI. 1995.

- Kuliah Umum Hukum Perburuhan oleh Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Atmajaya Yogyakarta. Kamis, 24 April 2003.

Tidak ada komentar: