Kamis, 17 April 2008

SERIKAT PEKERJA DAN PENINGKATAN HAK-HAK ASASI SERTA STANDAR KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

Latar Belakang

Serikat pekerja merupakan organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/ buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Serikat pekerja di Indonesia mengalami perkembangan yang tidak stabil. Hingga berakhirnya masa Orde Baru serikat pekerja banyak mengalami hambatan dan tekanan, sehingga adanya serikat pekerja tidak banyak membantu perbaikan standar ketenagakerjaan di Indonesia ataupun meningkatkan hak-hak asasi tenaga kerja. Akhirnya pada Era Reformasi usaha perbaikan hak asasi dan standar ketengakerjaan Indonesia oleh pemerintah mulai terlihat.

Perumusan Masalah

Bagaimana peran Serikat Pekerja dalam meningkatkan hak-hak asasi serta standar ketenagakerjaan di Indonesia?

Pembahasan

Kegagalan serikat pekerja dalam peningkatan hak-hak asasi manusia dan standar ketenagakerjaan pada masa Orde Baru disebabkan oleh: pertama, faktor internal yang berkaitan dengan struktur/bentuk organisasi serikat pekerja dan kemandirian serikat pekerja; kedua, faktor eksternal yang meliputi antara lain peraturan perundangan-undangan di bidang ketenagakerjaan, pelaksanaan pola hubungan industri Pancasila, sikap pengusaha, kondisi ekonomi, situasi politik, dan lain-lain.

Di bidang ketenagakerjaan, keruntuhan rezim Orde Baru ditandai antara lain dengan munculnya berbagai macam serikat pekerja. Pemerintah tidak kuasa lagi mempertahankan FSPSI (dulunya FBSI) sebagai wadah tunggal serikat pekerja di Indonesia. Munculnya keanekaragaman serikat pekerja pada Era Reformasi ini dimulai dengan pecahnya FSPSI menjadi dua yaitu FSPSI (yang lama) dan FSPSI Reformasi (yang baru), serta munculnya berbagai macam serikat pekerja. Saat ini terdapat 20 serikat pekerja yang terdaftar di Departemen Tenaga Kerja, yaitu SARBUMUSI, KBM, GASBINDO, FSBDI, PPMI, FOKUBA, FSPSI, FSPSI Reformasi, SBSI, FSPMI, GASPERMINDO, SP Independent, ASPEK Indonesia, ASOKADIKTA, KPNI, KBKI, GSBI, KORPRI, SBMSK, dan FSP BUMN.

Munculnya keanekaragaman serikat pekerja tersebut, memaksa pemerintah untuk mencabut Peraturan Menteri Tenaga Kerja yang memperberat persyaratan pembentukan serikat pekerja dengan PTMK No. 5/1998 yang membuka kesempatan kepada setiap serikat pekerja untuk terdaftar di Departemen Tenaga Kerja. Penetapan PTMK No. 5/1998 ini selanjutnya diikuti dengan diratifikasinya Konvensi ILO No. 87/1948 melalui Keputusan Presiden No. 83/1998. Sejalan dengan Konvensi ILO No. 87/1948 dan Konvensi ILO No. 98/1949, pemerintah sedang mengajukan 2 (dua) rancangan UU, yaitu: RUU tentang Keserikatburuhan dan RUU tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Di samping itu munculnya keanekaragaman serikat pekerja ini juga telah mendorong pemerintah untuk meratifikasi Konvensi ILO lainnya, yaitu: Konvensi ILO No. 138/1973 tentang Umur Minimum untuk diijinkan bekerja melalui UU No. 19/1999; Konvensi ILO No. 105/1957 tentang Kerja Paksa, melalui UU No. 20/1999; dan Konvensi ILO No. 111/1958 tentang Larangan Diskriminasi pekerjaan dan jabatan, melalui UU No. 21/1999. Akhirnya dalam upaya penyesuaian perubahan bentuk organisasi serikat pekerja dari Single Union ke Plural Union, pemerintah mencabut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 5/1998 melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 201/1999. Dengan demikian selama Era Reformasi ini, dalam jangka waktu seekitar 2 (dua) tahun munculnya keanekaragaman serikat pekerja ini telah mendorong diratifikasinya 4 (empat) Konvensi ILO, dimana 3 (tiga) diantaranya merupakan Konvensi ILO yang fundamental di bidang hak-hak asasi.

Perubahan bentuk serikat pekerja dari Single Union ke Plural Union, memberikan situasi yang kondusif bagi perkembangan serikat pekerja dalam peningkatan hak-hak asasi dan standar ketenagakerjaan pada masa kini dan akan datang. Untuk itu langkah-langkah strategis yang harus dilakukan baik oleh serikat pekerja sendiri maupun pemerintah adalah sebagai berikut:

1. Kemajemukan serikat pekerja harus tetap dipertahankan dan mencegah timbulnya wadah tunggal serikat pekerja di Indonesia. Untuk itu kebebasan membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja sebagaimana diamanatkan Konvensi ILO No. 87/1948, harus dilaksanakan secara konsekuen, dengan menetapkan peraturan perundang-undangan yang menjamin kebebasan pekerja untuk membentuk atau menjadi anggota serikat pekerja.

2. Untuk menjaga kemandirian serikat pekerja, maka segala bentuk bantuan dana dari pemerintah harus dihentikan. Sedangkan dana dari Luar Negeri harus diatur sedemikian rupa agar dana dari Luar Negeri tersebut digunakan untuk kepentingan pekerja. Untuk itu, pengurus serikat pekerja yang menyelewengkan dana dari luar negeri untuk kepentingan sendiri atau kepentingan lain di luar kepentingan pekerjaan/serikat pekerja, harus dikategorikan melakukan tindak pidana kejahatan yaitu korupsi atau penggelapan yang diancam dengan sanksi pidana kurungan. Selain itu serikat pekerja juga harus bebas dari kepentingan pemberi dana.

3. Dilihat dari segi pelaksanaan Hubugan Industrial Pancasila, ketiga asas partnership dalam Hubugan Industrial Pancasila harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari di tempat kerja. Sebagai partner in profit, para pekerja harus mendapatkan bagian dari keuntungan perusahaan. Selanjutnya sebagai partner in responsibility dan partner in production, para pekerja bekerjasama dengan pengusaha mengupayakan agar perusahaan maju dan berkembang sehingga dapat memberikan keuntungan yang lebih besar lagi.

4. Pelaksanaan ketiga asas partnership dalam Hubungan Industrial Pancasila secara benar, dipastikan akan dapat menciptakan industrial peace. Oleh sebab itu pemerintah tidak perlu menetapkan ketentuan larangan mogok.

5. Dilihat dari segi tingkat pengangguran yang masih tinggi, serikat pekerja pada masa datang harus berperan aktif membantu meningkatkan keterampilan pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja. Dengan demikian hal ini akan membantu mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang baru secara cepat. Setelah mendapatkan pekerjaan kembali, mereka akan kembali juga menjadi anggota serikat pekerjaan.

6. Paradigma lama yang memandang bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan konflik, harus ditinggalkan dan dirubah dengan paradigma baru bahwa hubungan pekerja dan pengusaha adalah hubungan kerjasama yang saling membutuhkan satu sama lain. Melalui dialog sosial, pekerja dan pengusaha dapat diharapkan saling memperlakukan sebagai social partner, bukan sebagai social enemy.

7. Pemerintah sebagai anggota tripartie harus berperan sebagai pihak ketiga yang tidak memihak. Di samping itu melalui peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangannya, pemerintah harus menciptakan iklim yang kondusif bagi para pekerja dan pengusaha dalam mengupayakan kemajuan perusahaan. Untuk menciptakan industrial peace, keterlibatan militer dan polisi harus disingkirkan dengan cara mendorong terjadinya dialog sosial antar pelaku proses produksi.

8. Dalam era globalisasi dialog sosial antara para pekerja dengan pengusaha harus ditingkatkan. Untuk harus dipertimbangkan beberapa kondisi sebagai berikut:

  1. para pekerja harus memiliki akses untuk mengetahui keadaan perusahaan yang sebenarnya (open management);
  2. para pekerja harus memiliki kesempatan untuk menjadi pemegang saham perusahaan;
  3. para pekerja harus memiliki akses untuk mendapatkan informasi tentang keadaan perusahaan;
  4. para pekerja dan pengusaha harus membentuk forum komunikasi (Social Dialogue).

9. Dengan telah diratifikasinya 7 (tujuh) Konvensi ILO yang fundamental di bidang hak-hak asasi, pemerintah harus mengadakan pembaharuan peraturan perudang-undangan di bidang perburuhan (Labor Law Reform), agar ketentuan-ketentuan yang sudah tidak sesuai lagi dengan Konvensi ILO tersebut dapat digantikan.

Kesimpulan

Sebelum tahun 1973, dimana pemerintah menerapkan plural union, serikat pekerja pada masa itu dapat berperan secara mantap dalam peningkatan hak-hak asasi dan standar ketenagakerjaan. Secara kuantitas, serikat pekerja pada waktu itu berhasil mendorong pemerintah untuk mengundangkan 10 (sepuluh) undang-undang dan meratifikassi 7 (tujuh) Konvensi ILO.

Setelah tahun 1973, dimana pemerintah mendorong atau mensponsori perubahan dari plural union ke single union, prestasi serikat pekerja dalam meningkatkan hak-hak asasi dan standar perburuhan menurun. Data menunjukkan bahwa selama 32 tahun, serikat pekerja hanya mampu mendorong pemerintah mengundangkan 4 (empat) undang-undang dan meratifisir 3 (tiga) Konvensi ILO.

Sejak tahun 1997, munculnya Era Reformasi, yang ditandai dengan kembalinya plural union, serikat pekerja dalam waktu yang relatif singkat telah dapat mendorong pemerintah untuk mengundangkan 1 (satu) dan 3 (tiga) Rancangan Undang-Undang, serta meratifisir 4 (empat) Konvensi ILO. Dengan demikian serikat pekerja akan lebih berperan dalam peningkatan hak-hak asasi dan standar ketengakerjaan apabila bentuk organisasi serikat pekerja adalah plural union, dimana setiap pekerja diberi hak untuk membentuk atau menjadi anggota serikat pekerja.

Referensi

Sandra. (1960). Sejarah Gerakan Buruh di Indonesia. Jakarta: Pustaka Rakyat.

Soekarno. (1979). Pembaharuan Gerakan Buruh di Indonesia dan Hubungan Industrial Pancasila. Bandung: Alumni.

Trimurti, SK. (1975). Hubungan Antara Gerakan Buruh dengan Gerakan Kemerdekaan Nasional. Jakarta: Idayu.

Tidak ada komentar: