Kamis, 17 April 2008

HUKUM - HUKUM KETENAGAKERJAAN


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kasus TKI yang belum lama ini mencuat di berbagai media, menimbulkan masalah baru bagi pemerintah Indonesia. Dalam kasus TKI tersebut bukan mutlak kesalahan para TKI, tetapi pemerintah juga turut andil. Dikarenakan sampai saat ini pemerintah belum tuntas dalam menyelesaikan masalah TKI illegal. Bagi sebagian orang, bekerja sebagai TKI di luar negeri ibarat berkubang madu. Sebagai contoh, upah kerja seorang pekerja konstruksi bengunan di Malaysia empat kali lipat lebih besar dibandingkan di Indonesia dengan volume pekerjaan yang sama. Selain itu permintaan tenaga kerja di Malaysia cukup tinggi, sehingga wajar bila arus TKI ke Malaysia cukup tinggi.

Namun kenyataannya jalan legal menjadi TKI di Malaysia tidaklah semudah dan semurah yang dibayangkan, akibatnya banyak TKI yang menempuh jalan illegal. Menurut Menteri Luar Negeri hasan Wirayudha sampai sat ini Malaysia tercatat lebih dari 178.000 TKI illegal. Sebelumnya, isu tenaga kerja ini sempat memanaskan hubungan diplomati karena dipicu berbagai peristiwa. Diantaranya, pemulangan paksa sekitar 150.000 TKI illegal ke Nunukan-kalimantan Timur belum lama ini. Pemberlakuan UU Keimigrasian Malaysia yang memberlakukan hukum cambuk dan penjara 6bulan bagai tenaga kerja illegal, demonstrasi bagi Malaysia di Kedubes Malaysia di Jakrta, dan pelanggaran warga negara Malaysia untuk bepergian ke Indonesia.

Lambannya penanganan terhadap TKI ilegal karena kurangnya koordinasi antar Menteri yang bersangkutan, terlihat setengah-tengah dan juga menunjukkan lemahnya kapabilitas dalam mengantisipasi masalah tenaga kerja illegal. Permasalahan TKI illegal masih menjadi problem klasik hingga saat ini bagi Indonesia. Di pihak lain, setiap negara menginginkan tenaga kerja legal bukan tenaga kerja illegal. Adanya kasus TKI ilegal, sudah seharusnya pemerintah mengusahakan menajdi TKI legal.

Dari berbagai masalah yang timbul dan berhubungan dengan TKI, menjadi permasalahan yang menarik untuk kita bahas dan memberikan jalan keluarnya. Dari berbagai macam masalah itu, salah satunya yang ingin saya bahas yaitu tentang perjanjian kerja. Ada berbagai amcam definisi tentang perjanjian kerja, yang dikemukakan oleh para ahli ekonomi.

Pengertian perjanjian kerja terdapat dalam pasal 1601 a-KUH Perdata, yaitu suatu perjanjian di mana pihak yang satu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak yang lain, majikan, selama suatu waktu tertentu dengan menerima upah.

Profesor Iman Soepomo mengatakan, perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak yang stu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak lain, majikan, selama suatu waktu tertentu dengan mnerima upah dan di mana pihak yang lain, majikan, mengikatkan diri untuk mempekerjakan pihak yang satu, buruh, dengan membayar upah.

Profesor Soebekti memberikan pengertian perjanjian kerja sebagai berikut : Perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian yang ditandai oleh cirri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya sutu “hubungan diperatas” (dienstverhouding), yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan ) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh yang lain.

Dari berbagi macam definisi dan rumusan perjanjian kerja di atas, maka dapat disimpulkan bahwa paling tidak ada empat unsure agar suatu perjanjian dapat disebut sebagai perjanjian kerja. Keempat unsur itu adalah :

1. Ada Pekerjaan

Pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus dilakukan oleh buruh untuk kepentingan majikan sesuai dengan isi perjanjian kerja. Hal ini merupakan pokok dari klausula “buruh mengikatkan diri untuk bekerja”. Pada dasarnya buruh sendiri yang harus melakukan pekerjaan tersebut, atas izin majikan, buruh dapat menyuruh orang ketiga (orang lain) untuk menggantikan pekerjaan. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1603 a KUHPerdata, yaitu : buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya, hanyalah dengan izin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya.

2. Ada Upah

Dalam pasal 1 ayat (5) UU nomor 3 Thun 1992 ditegaskan bahwa upah adalah penrimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada tenaga kerja untuk suatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang ditetapkan menurut suatu perjanjian atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasr suatu perjanjian kerja natar pengusaha dengan tenaga kerja, termasuk tunjangan, baik untuk tenaga kerja sendiri maupun keluarganya. Intinya upah merupakan imbalan prestasi yang dibayarkan oleh majikan kepada buruh atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh buruh.

Tidak ada upah apabila tidak ada perjanjian (no work, no pay). Dalam KUHPerdata ditegaskan dalam pasal 1602 b, yang berbunyi : Tidak ada upah dibayar untuk waktu buruh tidak melakukan pekerjaan yang diperjanjikan. Ketentiuan ini dipertegas kembali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang perlindungan upah. Dalam apsal 2 ditegaskan bahwa hak untuk menerima upah timbul pada saat hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja putus. Dalam pasal 4 ditegaskan bawa upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan.

Dalam Pasal 1 ayat (5) uu Nomor 3 tahun 1992 ditegaskan bahwa ditetapkan menurut (a) perjanjian, atau(b) peraturan perundang-undangan. Terhadap ketentuan ini harus ditafsirkan bahwa upah boleh ditetapkan menurut perjanjian apabila tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

3. Di Bawah Perintah

Unsur yang paling khas dari perjanjian kerja adalah bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh buruh berada di bawah perintah majikan. Dalam perjanjian kerja, unsure tersebut harus ada (di bawah perintah). Apabila sama sekali tidak ada perjanjian kerja. Unsur ketaatan sebagai perwujudan dari “di bawah perintah”, maka dalam pasal 1601 i ditegaskan bahwa perjanjian kerja antara suami istri adalah batal.

Prakteknya, untuk mewujudkana danya unsure “di bawah perintah” karena berbagai sebab, misalnya jumlah buruh cukup banyak, atau buruh dibagi dalam berbagai bagian, buruh harus mentaati peraturan kerja yang ada di perusahaan. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1603 b , yaitu : Buruh diwajibkan mentaati peraturan-peraturan tentang hal melakukan pekerjaan serta aturan-aturan yang ditujukan pada perbaikan kepadanya oleh atau atas nama majikan di dalam batas-batas aturan-aturan undang-undang atau perjanjian maupun reglemen, atau jika itu tidak ada, menurut kebiasaan. Kenyataan tidak mudah untuk menentukan apakah di dalam perjanjian antara suatu pihak dengan pihak lain ada atau tidak ada unsure “di bawah perintah” ini.

4. Waktu Tertentu

Yang hendak ditunjuk oleh perkataan waktu tertentu atau zekere terjadi sebagai unsure yang harus ada dalam perjanjian kerja adalah bahwa hubungan kerja antara majikan dengan buruh tidak berlangsung terus menerus atau abdi. Jadi bukan waktu tertentu yang dikaitkan dengan lamanya hubungan kerja antara majikan dengan buruh waktu tertentu tersebut dapat ditetapkan dalam perjanjian kerja, dapat pula tidak ditetapkan. Di samping itu, waktu tertentu tersebut, meskipun tidak ditetapkan dalam perjanjian kerja, mungkin pula didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau kebiasaan.

B. Perumusan Masalah

Seteleh diuraikan tentang definisi dan unsure-unsur perjanjian kerja di atas, maka akan timbul beberapa pertanyaan :

1. Bagaimana bentuk perjanjian kerja ?

2. Apa saja subyek perjanjian kerja ?

3. Apa saja isi perjanjian kerja ?

4. Bagaimana kewajiban para pihak dalam perjanjian kerja ?

5. Bagaimana perubahan perjanjian kerja ?

6. Bagaimana perpanjangan perjanjian kerja ?

7. Bagaimana perpindahan perjanjian kerja ?

8. Apa yang dimaksud dengan perjanjian kerja persaingan ?

9. Bagaimana perjanjian kerja laut ?

10. Apa yang dimaksud dengan perjanjian kerja tertentu ?

11. Kenapa ada larangan mengadakan perjanjian kerja antar suami dan istri ?

II. PEMBAHASAN

A. Bentuk Perjanjian Kerja

Bentuk Perjanjian Kerja adalah bebas, Artinya perjanjian krja tersebut dapat dibuat secara :

1. Tertulis

2. Lisan / tidak tertulis

Pengecualian : Untuk beberapa perjanjian kerja tertentu seperti perjanjian kerja laut, perjanjian kerja AKAD (Antar Kerja Daerah), dan perjanjian kerja AKAN (Antar Kerja Antar Negara), harus dibuat secara tertulus. Perjanjian kerja yang dibuat tertulis lebih menjamin adanya kepastian hukum.

B. Subyek perjanjian Kerja

Syarat syanya perjanjian terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu kesepakatan, kecakapan, hal tertentu, sebab yang halal (diperkenankan). Kecakapan merupakan salah satu syarat subyektif (mengenai subyeknya) perjanjian. Syarat subyektif lainnya adalah kesepakatan.

Yang disebut sebagai kekhususan mengenai subyek dalam perjanjian kerja hanyalah terletak pada : KUHPerdata menentukan bahwa orang dewasa adalah orang yang telah berumur 21 tahun atau lebih atau telah kawin, maka menurut UU Nomor 12 Tahun 1948, orang dewasa adalah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur 18 tahun ke atas. Dengan demikian pengertian “orang dewasa” dalam hukum perburuhan berarti orang yang telah berumur 18 tahun atau lebih. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata, sepanjang menyangkut masalah kedewasaan, maka yang harus diberlakukan adalah ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 12 Tahun 1948.

C. Isi Perjanjian Kerja

Isi prejanjian kerja merupakan “jantung”nya perjanjian kerja. Ia berkaitan dengan pekerjaan yang diperjanjikan. Adakalanya isi perjanjian kerja ini dirinci dalam perjanjian, tetapi sering juga hanya dicantumkan pokok-pokoknya saja. Isi perjanjian kerja, sebagaimana isi perjanjian pada umumnya, tidak boleh bertentangan dengan (a) Undang-undang, (b) Kesusilaan dan (c) Ketertiban umum.

Dikatakan bertentangan dengan undang-undang apabila isi perjanjian kerja bertentangan dengan keharusan yang dibebankan oleh undang-undang. Sanksi terhadap isi perjanjian kerja yang bertentangan dengan undang-undang barmacam-macam, dapat merupakan kebatalan atau pidana.

Tidak ada batasan secara khusus mengenai makna prejanjian yang bertentangan dengan kesusilaan. Menurut Profesor Iman Soepomo, pada umumnya perjanjian bertentangan dengan kesusilaan jika perjanjian itu bertentangan dengan asas peradaban yang menjadi sendi peri kehidupan negara dan masyarakat. Suatu perjanjian kerja jelas bertentangan dengan kesusilaan misalnya :

1. Buruh wanita harus berpakaian sedemikian rupa, yang dengan berpakaian seperti itu dapat meninggalkan rangsangan seksual bagi laki-laki.

2. Buruh tidak boleh meraih kehidupan yang layak.

3. Buruh tidak boleh melangsungkan prekawinan.

Isi perjanjian kerja bertentangan dengan ketertiban umum apabila pelaksanaan perjanjian kerja tersebut mengganggu tata tertib pergaulan hidup dalam masyarakat. Misalnya pelaksanaan perjanjian kerja mengganggu arus lalu lintas.

D. Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja

Dalam perjanjian kerja, baik buruh maupun majikan, masing-masing mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban buruh pada umumnya tersimpul dalam hak majikan, seperti juga hak buruh tersimpul dalam kewajiban majikan.

1. Kewajiban Buruh

Kewajiban buruh diatur dalam apsal 1603, 1603a, 1603b, 1603c, dan 1603d KUHPerdata. Dari pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan beberapa kewajiban buruh, yaitu :

a. Melakukan pekrjaan

Melakukan pekerjaan merupakan kewajiban yang paling utama bagi seorang buruh, di samping kewajiban-kewajiban lainnya, seperti yang tersimpul dari bunyi pasal 1603.

Pekerjaan yang wajib dilakukan oleh buruh hanyalah pekerjaan yang telah diperjanjikan. Dalam hal sifat dan luasnya (rincian) pekerjaan tidak dirumuskan dalam perjanjian atau peraturan majikan, maka hal itu ditentukan oleh kebiasaan. Di samping itu, buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya. Artinya ia tidak boleh mewakilkan kepada orang lain untuk melakukan pekerjaan tersebut. Perkecualian atas hal ini haruslah seizing majikan (pasal 1603a).

b. Mentaati peraturan tentang melakukan pekerjaan

Kewajiban buruh untuk mentaati peraturan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan melakukan pekerjaan ini merupakan perwujudan dari “di bawah perintah”nya buruh oleh majikan, seperti yang dinyatakan dalam pasal 1603b.

Penataan peraturan oleh buruh bukannya tidak terbatas. Perkataan “dalam batas” tresebut dalam pasal 1603b menunjukkan kita bahwa buruh hanya wajib mentaati peraturan mengenai pelaksanaan pekerjaan, sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, perjanjian, peraturan majikan atau kebiasaan.

Dalam apsal 373 KUHPerdata Dagang ditegaskan bahwa nahkoda wajib mengikuti dengan teliti aturan-aturan biasa dan peraturan-peraturan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, perjanjian, peraturan majikan atau kebiasaan.

Dalam pasal 343 KUHDagang ditegaskan bahwa nahkoda wajib mengikuti dengan teliti aturan-aturan biasa dan peraturan yang ada untuk menajmin kesiapan berlayar dan keamanan kapal, keamanan para penumpang dan keamanan pengangkutan muatan. Dalam pasal 384 ditegaskan bahwa selama waktu malakukan pekerjaan di kapal, pelaut wajib menaati dengan tertib perintah-perintah nahkoda.

c. Membayar ganti kerugian dan denda

Apabila perbuatan buruh, baik karena kesengajaan atau kelalaian, menimbulkan kerugian, maka ia harus membayar ganti kerugian. Buruh harus membayar denda apabila ia melanggar ketentuan dalam perjanjian kerja tertulis atau praturan majikan. Maka harus dibedakan antara kewajiban buruh untuk membayar ganti kerugian dengan kewajiban buruh untuk membayar denda. Buruh harus membayar ganti kerugian apabila kerugian tersebut benar-benar terjadi. Buruh sudah harus membayar denda apabila ia melanggar ketentuan dalam perjanjian kerja tertulis atau peraturan majikan. Pelanggaran atas perjanjian atau peraturan majikan tersebut mungkin menimbulkan kerugian mungkin juga tidak. Benar-benar timbulnya kerugian bukan merupakan syarat keharusan buruh untuk membayar denda. Mengenai ganti kerugian tersebut pasal 1601 W KUHPerdata menegaskan bahwa jika salah satu pihak dengan sengaja atau karena kesalahannya berbuat berlawanan dengan slah satu kewajibannya dan kerugian yang karenanya diderita oleh pihak lain tidak dapat dinilai dengan uang. Pengadilan akan menetapkan suatu jumlah uang menurut keadilan sebagai ganti kerugian. Tentang ganti kerugian ini diatur juga dalam pasal 1601 V (1) dan (2), pasal 410 KUHDagang, dan Pasal 387 KUHDagang.

2. Kewajiban Majikan

Kewajiban yang paling utama seorang majikan adalah membayar upah. Sedangkan kewajiban-kewajiban lainnya adalah (a) mengatur pekerjan dan tempat kerja, (b) memberikan cuti, (c) memberikan surat keterangan, (d) mengurus perawatan dan pengobatan. Yang disebutkan ini adalah beberapa kewajiban yang dirinci oleh undang-undang, sedangkan kewajiban umum seorang majikan tercantum dalam pasal 1602 Y KUHPerdata.

Kewajiban majikan yang disebutkan di atas hanyalah beberapa kewajiban yang dirinci oleh undang-undang, sementara masih banyak kewajiban lainnya. Perlindungan kepada buruh majikan. Oleh karena itu, sering pelanggaran atas kewajiban tersebut diancam dengan pidana.

a) Membayar Upah

Tujuan utama buruh bekerja adalah untuk mendapatkan upah. Kewajiban yang paling utama adalah membayar upah. Besarnya upah dapat ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan majikan atau perjanjian perburuhan. Pene ntuan besarnya upah tersebut tidak boleh bertenmtangan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 tahun 1989 tentang upah minimum. Pelanggaran atas ketentuan tersebut diancam dengan pidana.

(1) Beberapa Ketentuan Mengenai Upah

Tidak ada upah apabila buruh tidak melakukan pekrjaan. Hal ini ditegaskan oleh pasal 1602 b KUHPerdata dan pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1981 tentang perlindungan upah. Undang-Undang juga meletakkan kewajiban kepada majikan untuk membayar upah dalam hal buruh tidak melakukan pekerjaan. Perkecualian yang ditentukan oleh undang-undang tersebut adalah sebagai berikut :

Pertama, apabila buruh sakit atau kecelakaan berhalangan melakukan pekerjaan. Hal ini diatur dalam pasal 1602 c, pasal 416 KUHDagang, pasal 5 ayat (1) huruf (a) dan (b) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981.

Kedua, apabila buruh melaksanakan kewajiban yang diletakkan kepadanya oleh undang-undang atau penguasa negara tanpa penggantian berupa uang, yang kewajiban tersebut tidak dapat dilakukan di luar waktu kerja.

Ketiga, apabila buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah diperjanjikan, tetapi majikan tidak menggunakannya, baik karena salahnya sendiri maupun bahkan karena halangan yang kebetulan mengenai dirinya pribadi. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1602 d. Untuk berlakunya pasal 1602 d ini harus ada dua syarat kumulatif, yaitu (a) buruh bersedia bekerja, dan (b) majikan tidak mempergunakan kesempatan tersebut karena keadaan yang disebutkan di atas. Selain itu juuga diatur dalam pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nonor 8 Tahun 1981.

(2) Bentuk Upah

Berdasarkan pasal 1601 P sampai dengan pasal 1601 r, upah dapat berbentuk (a) uang, (b) barang, (c) jasa. Ketentuan yang dapat dikatakan sama tercantum dalam pasal 12 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981. mengenai upah yang tidak berbentuk uang, berarti berbentuk barang atau jasa, beberapa peraturan menentukan sebagai berikut :

- Peraturan tentang memperkerjakan buruh (indiensteneming van werklieden) diatur dalam pasal 4 dan pasal 5.

- Perjanjian kerja di laut (zee-ardbeidsorverseenkomst) diatur dalam pasal 429 dan pasal 436 KUHDagang.

- Peraturan tentang panglong Riau (Riauw Panglong Regeling) diatur dalam pasal 20.

- Kitab Undang-undang Hukum Perdata diatur dalam apsal 1602 x ayat (1) dan (2).

(3) Cara Pembayaran Upah

Majikan wajib membayar upah kepada buruh pada waktu yang telah ditentukan (pasal 1602 KUHPerdata). Mengenai hal ini pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 menentukan bahwa jangka waktu pembayaran upah secepat-cepatnya dapat dilakukan seminggu seperti atau selambat-lambatnya sebulan sekali, kecuali jika perjanjian kerja untuk waktu kurang dari satu minggu.

Pada tiap keli pembayaran seluruh jumlah upah harus dibayarkan (pasal 1602 P KUHPerdata dan pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981). Pemotongan upah hanya diperkenankan dalam hal yang telah ditegaskan dalam pasal 1602 n KUHPerdata, dan ketentuannya diatur dalam pasal 22 Peraturan pemerintah Nomor 8 tahun 1981.

Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1981, yakni tentang tempat pembayaran upah. Dalam pasal 1602 i menegaskan tentang pembayaran upah yang berupa uang yang dilakukan menurut jangka waktu tertentu. Tenggang waktu pembayaran yang ditetapkan dalam apsal 1602 i tersebut boleh diperpendek berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

(4) Kedudukan Upah

Pasal 1139 KUHPerdata menentukan bahwa piutang-piutang diistimewakan terhadap benda-benda tertentu/privilegie khusus, yaitu hak didahulukan terhadap benda-benda tertentu dari debitur. Sedangkan pasal 1149 KUHPerdata, merupakan priviligie umum. Jika priviligie khusus berhadapan dengan priviligie umum, maka priviligie khusus lebih didahulukan (pasal 1138 KUHPerdata)

b) Mengatur Pekerjaan dan Tempat Kerja

Salah satu kewajiban majikan yaitu mengatur pekerjaan dan tempat kerja. Pengaturan pekrjaan dan tempat kerja ini oleh Profesor Iman Soepomo merupakan bidang yang disebut dengan kesehatan kerja dan keamanan kerja.

Peraturan –peraturan mengenai kesehatan dan keamanan kerja pada umumnya merupakan peraturan yang bersifat publik-rechtelijik (antara lain diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948). Dalam KUHPerdata ada tiga pasal yang berkaitan dengan hal itu, yaitu pasal 1602 u, 1602 v, dan 1602 w.

c) Memberikan Cuti

Majikan wajib memberikan libur kapada buruh pada hari minggu atau hari raya, atau hari lain yang menurut kebiasaan setempat dipandang sebagai hari minggu. Demikian ditegaskan oleh pasal 1602 v KUHPerdata. Mengenai cutu tahunan diatur dalam pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 1948, dalam ayat (1) (ayat ini diberlakukan berdasarkan PP Nomor 21 Tahun !954), dan ayat (2) (ayat ini belum berlaku).

d) Memberikan Surat Keterangan

Kewajiban lain seorang majikan yang diletakkan oleh undang-undang adalah memberikan surat keterangan. Apabila buruh menghendaki, majikan wajib memberikan surat keterangan pada saat hubungan kerja berakhir. Surat keterangan ini berisi tentang (1) sifat pekerjaan yang dilakukan oleh buruh, dan (2) lamanya hubungan kerja antara majikan dengan buruh. Jika diperlukan dalam surat keterangan tersebut dapat ditambahkan tentang (1) cara buruh telah melaksanakan pekerjaannya, dan (2) bagaimana hubungan kerja berakhir.

Tiap janji yang akan mengakibatkan kewajiban majikan tersebut dikecualikan adalah batal demi hukum. Hal-hal tersebut dicantumkan dalam pasal 1602 z KUHPerdata.

e) Mengurus Perawatan dan Pengobatan

Dalam pasal 1602 c dan apsal 1602 x terdapat perkataan “sakit dan mendapat kecelakaan”. Tetapi klausula berikutnya masing-masing pasal tersebut membedakan makna yang hendak ditunjuk oleh kedua pasal itu.

Yang hendak ditunjuk oleh pasal 1602 c adalah sakit dan mendapat kecelakaan, yang menyebabkan buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya, baik itu sakit badaniah maupun rohaniah. Yang hendak ditunjuk oleh pasal 1602 x adalah sakit dan mendapat kecelakaan, tanpa mempersoalkan apakah hal itu menyebabkan buruh berhalangan atau tidak melakukan pekerjaaannya.

Dengan berlakunya UU nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, maka berdasarkan asas lex specialist derogat lex generalis, pasal 1602 x KUHPerdata sudah harus dianggap tidak berlaku lagi, sebab dalam undang-undang ini telah diatur secara rinci mengenai penyelenggaraan perawatan dan pengobatan bagi buruh.

E. Perubahan Perjanjian Kerja

Perubahan atas isi perjanjian kerja harus didasarkan pada kesepakatan kedua pihak, yaitu majikan dan buruh. Hal ini dapat disimpulkan dari asas yang terkandung dalam pasal 1338 KUHPerdata. Selain itu juga diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.

F. Perpanjangan Perjanjian Kerja (Voortzettung)

Perjanjian kerja yang telah habis waktunya dapat diperpanjang. Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu diatur dalam pasal 1603 f ayat (1). Untuk perjanjian kerja dengan waktu tidak tertentu masalah perpanjangan bukan merupakan hal yang rumit,sebab perjanjian kerja yang demikian itu terus berlangsung sampai benar-benar diakhiri.

G. Perpindahan Perjanjian Kerja (Overneming Arbeidsovereenkomst)

Dalam KUHPerdata tidak diatur dengan tegas. Tetapi pasal 1576 KUHPerdata dan UU Nomor 12 Tahun 1964 mengatur tentang hal ini. Buruh tidak dapat dipaksa untuk menyetujui pemindahan perjanjian kerja asli kepada majikan baru. Buruh juga tidak dapat dipaksa untuk menyetujui perpindahan perjanjian kerja baru kepada majikan baru. Berkaitan dengan perpindahan perjanjian kerja ini diatur juga dalam pasal 9 ayat (1) dan 10 Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perkebunan.

H. Perjanjian Kerja Persaingan (Corcurrentie-Beding)

Yang akan dibahas adalah perjanjian kerja yang di dalamnya terdapat klausula untuk mencegah persaingan antar perusahaan. Latar belakangnya adalah karena berbagai alasan, dalam praktek sering terjadi pemutusan hubungan kerja. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang merugikan KUHPerdata memperkenankan perjanjian kerja yang di dalamnya terdapat klausula untuk mencegah persaingan, hal ini ditegaskan dalam pasal 1601 x ayat (1).

I. Perjanjian Kerja Laut

Pengertian perjanjian kerja laut terdapat dalam pasal 395 KUHDagang, dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian kerja laut pada dasarnya merupakan perjanjian kerja juga. Hal ini dipertegas oleh pasal 396 KUHDagang. Tentang bentuk perjanjian kerja laut ini diatur dalam pasal 399 ayat (1) dan pasal 400 (1) KUHDagang. Tentang isi perjanjian kerja laut ini diatur dalam pasal 401 KUHDagang.

Sedangkan mengenai upah diatur dalam pasal 402 ayat (1) dan ayat (2). Dengan berlakunya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 Tahun 1989 tentang upah minimum regional. Dalam perjanjian kerja laut tidak boleh ada klausula tentang perjanjian kerja persaingan, diatur dalam 404.

Pasal 1603 n KUHPerdata menegaskan bahwa tiap pihak dapat mengakhiri hubungan kerja tanpa pernyataan pengakhiran berdasarkan alasan-alasan mendesak. Selain itu juga diatur dalam pasal 418, 411 KUHDagang, pasal 1603 o KUHPerdata, UU Nomor 12 Tahun 1964 dan pasal 1601.

Tentang ketentuan pidana dalam hubungan kerja laut diatur dalam pasal 93, 453, 455, 466, 471, 473, 474, 475, 476, 477 KUHPidana.

J. Perjanjian Kerja Tertentu

Kata “tertentu” yang dirangkai dengan kata “perjanjian kerja” dimaksudkan untuk menunjukkan “tertentu” atau “terbatasnya” waktu perjanjian kerja tersebut makna perjanjian kerja tertentu terdapat dalam pasal 1 huruf (a) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 /MEN/1986. tentang pembatasan dalam perjanjian kerja tertentu diatur dalam pasal 4 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 05/MEN/1986.

Tentang syarat formal dalam perjanjian kerja tertentu tertuang dalam pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja. Sedangkan syarat material diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Tentang pemutusan Hubungan Kerja yang berasala dari pengusaha tetap terikat apda Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 Joncto Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04/MEN/1986.

Tentang kesalahan berat dan alasan memaksa, berikut ini adalah bunyi pasal 17, 19 dan 20 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 05/MEN/1986.

K. Larangan Mengadakan Perjanjian Kerja Antar Suami dan Istri

Dalam pasal 1601 i ditegaskan bahwa prjanjian kerja antara suami dan istri adalah batal. Dalam pasal 106 ayat (1) KUHPerdata ditegaskan bahwa setiap istri harus tunduk patuh kepada suaminya. Pada saat ini menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, kedudukan seorang suami dan istri adalah sejajar dan seimbang.

III. PENUTUP

Kesimpulan

Setelah kita membaca dan memahami segala sesuatui tentang perjanjian kerja, maka kita akan lebih tahu dan mengerti serta berhati-hati untuk mengadakan sutu perjanjian, terlebih lagi mengenai perjanjian kerja. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para TKI semoga tidak terulang lagi, dan menjadi pelajaran bagi kita untuk mensikapinya dengan lebih hati-hati lagi dalam melakukan sesuatu hal yang berhubungan dengan pekerjaan.

Dalam melakukan perjanjian kerjapun harus hati-hati karena jika melakukan kesalahan dan melanggar ketentuan yang telah dibuat diancam dengan hukuman pidana. Perjanjian kerja membuat agar majikan lebih bijaksana dan buruh melakukan pekerjaannya dengan baik. Dan perlu diketahui bahwa perjanjian kerja anatar suami dan istri batal dilakukan karena adanya sutu ikatan perkawinan yang sah menurut hukum.

Saran :

Dengan adanya makalah ini semoga menambah pengetahuan kita tentang perjanjian kerja dan mensikapi segala bentuk perjanjian termasuk perjanjian kerja dengan hati-hati, terutama ketika kita berhubungan dengan dunia kerja. Dan semoga dengan sikap kehati-hatian kita tidak akan ada lagi kasus TKI yang menghebohkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Achmad Budiono, Hukum Perburuhan di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta,1997

Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta ,1985.

Sendjun H. Manulang, Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1995.

Dyah Mutiarin SIP, Msi, Analisis ; TKI, Manajemen Separuh Hati, Kedaulatan Rakyat, Rabu Legi 11 Desember 2002, halaman 1.

1 komentar:

Zahid Hamidi mengatakan...

Assalamu alaikum warohmatullahi wabarakatu.
Saya ingin berbagi cerita siapa tau bermanfaat kepada anda bahwa saya ini seorang TKI dari johor bahru (malaysia) dan secara tidak sengaja saya buka internet dan saya melihat komentar bpk hilary joseph yg dari hongkong tentan MBAH WIRANG yg telah membantu dia menjadi sukses dan akhirnya saya juga mencoba menghubungi beliau dan alhamdulillah beliau mau membantu saya untuk memberikan nomer toto 6D dr hasil ritual beliau. dan alhamdulillah itu betul-betul terbukti tembus dan menang RM.457.000 Ringgit selama 3X putaran beliau membantu saya, saya tidak menyanka kalau saya sudah bisa sesukses ini dan ini semua berkat bantuan MBAH WIRANG,saya yang dulunya bukan siapa-siapa bahkan saya juga selalu dihina orang dan alhamdulillah kini sekaran saya sudah punya segalanya,itu semua atas bantuan beliau.Saya sangat berterimakasih banyak kepada MBAH WIRANG atas bantuan nomer togel Nya. Bagi anda yg butuh nomer togel mulai (3D/4D/5D/6D) jangan ragu atau maluh segera hubungi MBAH WIRANG di hendpone (+6282346667564) & (082346667564) insya allah beliau akan membantu anda seperti saya...