Kamis, 17 April 2008

PERLINDUNGAN BAGI TENAGA KERJA APABILA TERJADI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA SECARA SEPIHAK


I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bekerja bagi seseorang merupakan perwujudan dari keberadaannya maupun merupakan nilai pribadi dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga bekerja merupakan hak bagi setiap warga negara tanpa perkecualian atau diskriminasi untuk memperoleh kehidupan yang layak. Hal ini pula ditegaskan dalam pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyebuttkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan bagi kemanusiaan. Hal ini berarti menjadi tugas kita bersama untuk mengusahakan agar setiap orang yang mau dan mampu bekerja dapat mendapatkan pekerjaan sesuai dengan yang diinginkannya dan setiap orang yang bekerja dapat memperoleh penghasilan yang cukup untuk hidup layak, bagi tenaga kerjanya sendiri maupun keluarganya.

Tugas ini kiranya tidak mudah, karena jumlah penduduk indonesia yang semakin besar, daya serap ekonomi yang terbatas, tingkat pendidikan dan produktifitas yang rendah serta penyebaran penduduk dan angkatan kerja yang tidak merata. Oleh karenanya mencari pekerjaan merupakan hal yang dapat dikatakan sulit bagi sebagian orang yang berpendidikan biasa-biasa saja atau lulusan SMU, sehingga apabila ia sudah bekerja di suatu perusahaan lalu terkena Pemutusan Hubungan Kerja tentu akan menambah masalah pengangguran di Negeri ini. Permasalahan tersebut yang akan coba dibahas dalam kaitan perlunya perlindungan bagi tenaga kerja apabila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak dari pihak perusahaan, selain itu pemutusan hubungan kerja dalam sisi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997.

II. PEMBAHASAN

Seperti telah kita ketahui bahwa kasus Pemutusan Hubungan Kerja yang melibatkan pihak pengusaha dengan pihak tenaga kerja banyak terjadi di berbagai perusahaan. Apabila Pemutusan Hubungan Kerja sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku maka hal itu bukan merupakan suatu masalah, misalnya saja pada awal krisis moneter terjadi perampingan tenaga kerja pada perusahaan sehingga banyak tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja, hal ini dimaksudkan agar pengeluaran perusahaan tidak terlalu besar karena harga kebutuhan mengalami kenaikan akibat krisis moneter itu.

Yang menjadi masalah adalah apabila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak oleh perusahaan terhadap tenaga kerjanya. Tentu tindakan ini merupakan tindakan yang semena-mena dan sangat merugikan pihak tenaga kerja karena dengan adanya pemutusan tersebut mereka akan kehilangan pekerjaannya. Ditambah lagi apabila Pemutusan Hubungan Kerja tersebut tidak mempunyai alasan yang kuat atau alasan pembenaran Pemutusan Hubungan Kerja.

Sebelum melangkah lebih jauh dalam membicarakan perlindungan tenaga kerja apabila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak, maka perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari Pemutusan Hubungan Kerja itu sendiri. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1007 pasal 1 angka 19 Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha.

Berdasarkan pengertian tersebut semakin jelas bahwa pihak tenaga kerja tidak mempunyai hak dan kewajiban terhadap pengusaha, begitupun sebaliknya. Sebenarnya Pemutusan Hubungan Kerja tidak dapat dilakukan pihak perusahaan tanpa disertai adanya alasan-alasan pembenaran mengenai pemutusan hubungan kerja. Adapun alasan-alasan pembenaran tersebut adalah:

· Alasan-alasan yang berhubungan atau yang melekat pada pribadi buruh. Misalnya tidak cakap dan tidak mampu secara badaniyah maupun rohaniah, tidak ada keahlian, tidak mampu menerima latihan yang diperlukan bagi pekerjaannya dan sakit tertentu.

· Alasan-alasan yang berhubungan dengan tingkah laku buruh. Misalnya tidak memenuhi kewajibannya, tidak dapat dipercaya, melanggar disiplin, dan sebagainya.

· Alasan-alasan yang berkenaan dengan jalannya perusahaan, artinya demi kelangsungan jalannya perusahaan. Misalnya tidak adanya pesanan atau bahan baku, menurunnya hasil produksi.

Berdasarkan alasan pembenaran Pemutusan Hubungan Kerja diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa ada tidaknya pemutusan hubungan kerja tergantung pada sisi tenaga kerja atau pekerja itu sendiri ditambah dengan alasan yang bersifat “ memaksa” yang berhubungan dengan kelangsungan hidup perusahaan . Misalnya mengenai penyelamatan perusahaan yaitu usaha peningkatan efisiensi dari penghematan antara lain dengan:

· Mengurangi shift

· Membatasi / menghapuskan kerja lembur

· Mengurangi jam kerja

· Peningkatan usaha-usaha, peningkatan efisiensi dan penghematan lainnya seperti mempercepat pensiun dan sebagainya.

· Meliburkan karyawan secara bergilir atau merumahkan karyawan untuk sementara waktu

Apabila ada perusahaan yang memberhentikan tenaga kerjanya dengan alasan rasa tidak senang, terutama lebih difokuskan pada masalah pribadi antara atasan dengan bawahan maka hal itu tidak dapat dibenarkan baik itu oleh aturan-aturan yang berlaku pada perusahaan maupun Undang-Undang. Namun biasanya kenyataan yang ada masih banyak tenaga kerja yang diperlakukan semena-mena dengan diputus hubungan kerjanya secara sepihak, memang dalam surat Pemutusan Hubungan Kerja ditulis atau dikatakan mereka/ tenaga kerja melakukan tindakan indisipliner seperti tidak sopan terhadap tamu, suka melawan atasan dan lain-lain padahal mereka saama sekali tidak merasa demikian hal itu terbukti dengan tidak adanya surat teguran yang dialamatkan pada pekerja yang akan di-PHK. Mungkin ini salah satu contoh kasus pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha terhadap tenaga kerjanya yang dapat digolongkan dalam pemberhentian tidak layak karena alasan pemberhentiannya terkesan dicari-cari atau alasan yang palsu.

Sebenarnya masih banyak kasus-kasus yang terjadi mengenai pemberhentian secara sepihak ini. Maka dari itu diperlukan ketentuan-ketentuan tentang pemberhentian tenaga kerja agar tidak hanya terbatas pada meringankan penderitaan tenaga kerja yang telah atau akan diberhentikan, tetapi juga membatasi atau mengekang kebebasan majikan untuk melakukan pemberhentian. Sehingga ditetapkan suatu asas bahwa “setiap pemberhentian harus berdasarkan alasan yang membenarkan pemberhentian itu atau dengan kata lain seorang tenaga kerja yang diberhentikan berhak untuk menentang pemberhentiannya atas dasar bahwa pemberhentiannya itu tidak beralasan, yaitu melalui cara pengaduan”.

Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 bahwa sebenarnya antara pengusaha, pekerja/ tenaga kerja, dan atau serikat pekerja harus melakukan upaya untuk menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja. Berarti dalam ketentuan Undang-Undang ini hak tenaga kerja ini sangat dijamin karena dikhawatirkan apabila terjadi pemecatan atau pemberhentian akan menambah masalah sosial seperti jumlah pengangguran yang akan meningkat. Mengenai hal ini ditegaskan dalam pasal 85 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 yang berbunyi:

“Pengusaha, pekerja, dan atau serikat pekerja harus melakukan upaya untuk menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja”.

Selain upaya untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja dalam Undang-Undang ini dikatakan pada pasal 86 bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerjanya dalam hal:

a. Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus.

b. Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaan karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

c. Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.

d. Pekerja menikah, hamil, melahirkan, atau gugur kandungan.

e. Pekerja mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam suatu perusahaan, kecuali telah diatur dalam kesepakatan kerja bersama atau peraturan perusahaan.

f. Pekerja mendirikan, menjadi anggota, dan atau menjadi pengurus serikat pekerja.

Apabila setelah diadakan segala upaya agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja maka pengusaha harus memusyawarahkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan serikat pekerja atau dengan pekerja yang bersangkutan dalam hal pekerja tidak menjadi anggota serikat pekerja.

III. PENUTUP

Kesimpulan

Berdasar uraian diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa:

1. Masalah yang terpenting dalam masalah ketenaga kerjaan adalah soal pemutusan hubungan kerja. Berakhirnya hubungan kerja bagi tenaga kerja berarti kehilangan mata pencarian yang berarti pula permulaan masa pengangguran dengan segala akibatnya, sehingga untuk menjamin kepastian dan ketentraman hidup kaum tenaga kerja seharusnya tidak ada pemutusan hubungan kerja. Akan tetapi dalam kenyataannya membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapat dicegah seluruhnya.

2. Di Indonesia masih banyak terjadi pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh para pengusaha dan yang lebih memprihatinkan adalah terkadang alasan pemberhentian terkesan dibuat-buat dan tanpa adanya alasan pembenaran mengenai pemutusan hubungan kerja. Disinilah perlunya ditetapkan suatu asas bahwa setiap pemberhentian harus berdasarkan alasan pembenaran pemberhentian itu atau dengan kata lain seorang tenaga kerja yang diberhentikan berhak untuk menentang pemberhentiannya atas dasar bahwa pemberhentiannya itu tidak beralasan.

3. Didalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 mengenai pemutusan hubungan kerja terdapat tata caranya yaitu mulai dari upaya pencegahan agar tidak sampai terjadi pemutusan hubungan kerja dan apabila upaya tersebut mengalami kebuntuan maka pengusaha harus memusyawarahkan maksudnya baik itu lewat serikat pekerja maupun lewat pekerja yang bersangkutan.


DAFTAR PUSTAKA

Sendjun H. Manulang, SH, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Rhineka Cipta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1997, tentang Ketenagakerjaan.

Aliliawati Muljono, SH, CN., Harvarindo 2000.

1 komentar:

Ikhsan mengatakan...

Memang PHK sepihak sering terjadi..apa lagi isi UU NO 13 th 2003 pasal 151 ayat 1,2 dan 3...tp masih ada perusahaan yg melanggar Ketentuan UU tersebut.